Friday, March 29, 2024
spot_img

Kenangan Mereka pada Darurat Militer

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Sembilan tahun lalu, Pemerintah Pusat memberlakukan status Darurat Militer di Aceh seiring dengan gagalnya perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka. Akibatnya, sedikitnya 42 ribu pasukan dikirim ke Aceh. Kini, sembilan tahun kemudian, masyarakat berharap agar konflik tak lagi terjadi di Aceh.

19 Mei 2003 merupakan sejarah kelam bagi Aceh. GAM yang tak mau tunduk pada tawaran Jakarta, “diburu” dalam sebuah operasi militer besar-besaran. Penempatan pasukan dan armada perang ke Aceh pada masa itu merupakan yang terbesar setelah Jakarta mengirimkan pasukan ke Timor Timur pada 1976 lalu.

Kini, semuanya berakhir sudah. Pemerintah Indonesia dan GAM telah bersepaham untuk mengakhiri konflik bersenjata yang menewaskan tak kurang dari 2.800-an orang selama 2003 hingga 2005. Perundingan Helsinki telah membuka lembaran baru bagi Aceh.

GAM yang dulunya menjadi musuh Jakarta, kini duduk semeja memajukan Aceh. Sudah dua kali masa Pemerintahan Aceh dipimpin kader dan pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Dalam pemilihan 2006 lalu, kader GAM Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (bekas tahanan politik dari Sentral Informasi Referendum Aceh/SIRA –red.) memimpin negeri ini. Kali ini, giliran bekas “Menteri Luar Negeri GAM di Pengasingan”, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (bekas panglima militer GAM –red.) memimpin Aceh untuk lima tahun ke depan, 2017.

Lalu, apakah masyarakat Aceh masih ingat dengan status Darurat Militer yang pernah menjadikan daerah ini sebagai wilayah perang? Tulisan ini tak bermaksud membuka luka lama. Ini hanya sekedar pengingat, bahwa daerah ini pernah memiliki sejarah kelam.

Abdullah (40), salah seorang warga Aceh Besar, mengatakan pada saat terjadi Darurat Militer dirinya melihat sejumlah peristiwa tragis yang tidak bisa ia lupakan, seperti penembakan dan pembunuhan.

Ia mengaku, penggerebekan dan razia pasukan pemerintah menjadi hal biasa yang ditemui kala itu. “Tengah malam kami pernah digerebek,” jelas Abdullah, Sabtu, 19 Mei 2012.

Menurutnya, pada saat itu masyarakat pedalaman sangat takut untuk melakukan aktivitas rutinnya. Ia tidak berani keluar rumah jika sudah melihat aparat masuk ke perkampungan.

Tak hanya itu, orang yang belum tentu bersalah juga menjadi korban perang. Dalihnya, mereka cuak alias mata-mata Jakarta.

Meski itu merupakan sejarah kelam, Abdullah mengaku tak ingat betul tanggal pasti pemberlakuan Darurat Militer. “Kalau tidak salah tahun 2003,” kata dia. “Tapi saya lupa tanggal dan bulan berapa.”

Ariful A, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh, juga punya kenangan terhadap fase Darurat. Padahal, kala itu ia masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Ariful mengaku melihat dan mendengar penduduk sipil menjadi korban.

Baik Ariful dan Abdullah berharap sejarah kelam tak lagi “menyapa” penduduk di Bumi Sultan Iskandar Muda ini. Mereka mengajak semua pihak untuk merawat dan menjaga perdamaian yang telah dinikmati rakyat Aceh sejak Agustus 2005 lalu.

“Kita sudah lelah dengan konflik. Mari jaga dan pupuk perdamaian ini supaya terjaga dengan baik,” harap Abdullah. “Biar masyarakat bisa leluasa mencari rezeki dan membangun daerah ini.” []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU