Friday, April 19, 2024
spot_img

Ke Pulo Aceh, Guru Enggan Kembali [4]

Guru yang berstatus pegawai beralasan jalur transportasi dan kondisi geografis Pulo Aceh menyebabkan mereka tidak maksimal menunaikan tugas. Siswandi, guru pendidikan kesehatan dan jasmani di SD Meulingge, menyebutkan, ia dan guru lainnya di Meulingge menyepakati untuk mengajar bergilir. Jika ia hadir di sekolah, maka guru lain: Kamaruddin (Kepala Sekolah) dan Aswadi (Guru Kelas) yang libur. Begitu sebaliknya.

“Han eik tadeung (Tidak betah),” aku Siswandi ketika dikonfirmasi perihal penyebab ia sering alpa mengajar di SD Meulingge.

Siswandi ditugaskan di Meulingge sejak 2006 lalu. Jebolan Sekolah Guru Olahraga itu mengaku tidak betah tinggal di Pulo Aceh, sehingga ia bolos tugas. Selain faktor geografis dan transportasi, ia mengaku alasan keluarga menjadi penghalang seringnya tidak hadir mengajar.

“Keluarga saya tinggal di daratan, di Samahani, Aceh Besar. Mereka tidak mungkin pindah ke sini, karena istri saya juga mengajar di SMP Lamno, Aceh Jaya,” kilah Siswandi.

Untuk itu, ia dan guru lainnya mengatur siasat. Sistem mengajar bergilir akhirnya menjadi kesepakatan para guru. “Ini pun kita mengikuti pola lama,” sebutnya.

Kepala Sekolah SD Meulingge Kamaruddin beralasan para guru sedang melanjutkan pendidikan kesarjanaan di Banda Aceh, sehingga menyebabkan mereka memberlakukan sistem mengajar bergilir. “Kalau kami tidak ikut kuliah S1 sampai dengan 2015, kami tidak bisa lagi menyandang status guru,” ujarnya.

Kamaruddin menyebutkan, pendidikan S1 yang tengah mereka tempuh ini sudah mendapatkan persetujuan dari Dinas Pendidikan Aceh Besar. “Sudah kami kasih tahu ke Dinas. Mereka berpesan agar sekolah jalan terus, tidak tutup,” sebutnya.

Namun, kata dia, proses pendidikan yang tengah ditempuh guru tidak akan mengganggu jadwal pengajaran di sekolah dasar yang dipimpinnya. “Kami kuliah Sabtu dan Minggu,” aku Kamaruddin yang tengah menempuh pendidikan S1 di Universitas Serambi Mekkah di Banda Aceh. “Tapi tidak boleh meninggalkan tugas.”

Kenyataannya, acehkita.com mendapati guru tidak hadir mengajar hampir sepanjang pekan. Pada Sabtu, anak-anak SD Meulingge dan Rinon acap belajar baris berbaris atau senam, yang dipandu oleh guru kontrak.

Kuliah yang tengah ditempuh para guru menyebabkan pengajaran di SD Meulingge tidak maksimal. Selama ini, guru yang mendampingi murid lebih banyak dilakukan oleh guru kontrak. Kamaruddin memang menetap di Desa Rinon, lima kilometer dari Meulingge. Namun, ia juga jarang terlihat di sekolahnya.

Saat bertandang ke Rinon, secara kebetulan acehkita.com bertemu Kamaruddin di jalan. Ia baru saja selesai mencari sinyal telepon selular di sebuah sudut Desa Rinon. Seringnya alpa ke sekolah, diakui Kamaruddin, karena ia tak bisa mengendarai sepeda motor. Biasanya, ia dijemput guru lain atau menumpang sepeda motor orang yang hendak pergi ke Meulingge.

Padahal SD Meulingge menyediakan empat rumah dinas yang disediakan bagi guru. Saat ditanya kenapa Kamaruddin dan guru lain enggan menempati rumah dinas, ia menyebutkan bahwa rumah tersebut tidak layak huni.

“Rumah yang tersisa dua, dua lainnya sudah digunakan Ibu Yus dan guru SM3T. Sedangkan dua lainnya rusak,” ujar Kamaruddin. “Loteng (plafon) dan WC tidak ada.”

Jika kondisi demikian miris terjadi di Rinon dan Meulingge, kondisi di Gugop lebih baik. Ketika dikunjungi akhir September lalu, setidaknya ada tiga pegawai di SD Negeri Ulee Paya tersebut. Namun mereka mengakui, bahwa di sekolahnya juga menerapkan sistem gilir dalam mengajar.

“Karena sebagian guru juga ada yang keluarganya di Banda Aceh. Tapi kita gilir satu minggu di sekolah, satu minggu lagi libur,” kata Ismail, salah seorang guru kelas.

Kondisi demikian membuat guru kontrak yang mengabdi di sekolah menjadi pengambil kebijakan dadakan. Mereka kadang juga berperan sebagai kepala sekolah.

“Jadinya kita harus ambil keputusan, karena memang mereka yang seharusnya mengambil kebijakan tidak ada di tempat,” kata Hasan, yang telah genap setahun mengabdi di SD Rinon.

Dinas Pendidikan Aceh Besar terkesan menutup mata terhadap kondisi pendidikan di Pulo Aceh. Awal Oktober lalu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Besar Razali melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah sekolah dasar di Pulo Breueh. Mereka mendapati sejumlah guru berstatus PNS yang tidak hadir mengajar. acehkita.com berupaya mengonfirmasi pelbagai temuan di Pulo Aceh, namun Kepala Dinas Pendidikan Razali sangat sulit ditemui. Saat bertandang ke kantor Dinas Pendidikan Aceh Besar di Jantho –55 kilometer timur Banda Aceh, Razali tak mau ditemui tanpa alasan yang jelas.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Aceh Besar Amri menyebutkan, minimnya kehadiran guru mengajar di Pulo Aceh telah dibahasnya bersama kepala sekolah. Mereka meminta ketegasan kepala sekolah dalam memantau guru yang tidak mengajar.

“Kita mengupayakan hadir semuanya mengajar. Jadi tidak ada istilah rolling mengajar,” ujarnya.

Amri mengaku, Dinas Pendidikan tidak mengetahui adanya kesepakatan antarguru mengenai sistem mengajar bergilir. “Sejauh ini kami tidak tahu,” sebutnya.

Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh bereaksi keras begitu mengetahui adanya sistem mengajar bergilir yang disepakati para guru di Pulo Aceh. “Itu penelataran namanya. Tidak bisa, kasihan anak-anak,” ujar Ketua MPD Aceh Prof Warrul Walidin.

Tindakan guru tersebut dapat mengakibatkan para siswa tidak bisa menyerap pendidikan secara maksimal. Sehingga, mereka bakal tidak bisa bersaing kala mengikuti ujian nasional atau masuk sekolah di daerah lain di luar Pulo Aceh. “Target kurikulum yang telah disusun juga tidak akan tercapai dan kemampuan anak-anak akan sangat memprihatinkan,” kata mantan Dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh itu.

Majelis Pendidikan meminta Pemerintah Kabupaten dan Dinas Pendidikan Aceh Besar mengeluarkan kebijakan khusus untuk pendidikan di Pulo Aceh serta mengawasi ketat guru yang mengajar di sana.

“Harus ada sebuah kebijakan untuk memberikan insentif lebih kepada guru yang mengajar di pulau-pulau terpencil dan terluar, sehingga jangan sampai ada alasan untuk tidak mengajar dan menelantarkan anak,” pinta Warrul. “Jangan sampai guru PNS melempar tanggungjawab kepada guru honor, karena kemampuan mereka tentu berbeda.”

Guru yang ditugaskan di Pulo Aceh bukannya tak memperoleh fasilitas memadai. Selain rumah dinas, mereka juga diberikan dana tunjangan mengajar di daerah terpencil –yang besarannya satu kali gaji pokok. Selain itu, para guru yang telah bersertifikasi juga memperoleh dana sertifikasi. Untuk guru dengan pangkat 2C saja mereka bisa memperoleh gaji sebesar Rp3.9 juta per bulan. Itu berasal dari gaji pokok dan tunjangan terpencil. Siswandi, guru SD Meulingge, mengaku dana ini tidak mencukupi. “Tidak sebanding dengan resiko,” kata Siswandi.

Meski dengan kondisi yang memperihatinkan, anak-anak di Pulo Aceh sebenarnya mempunyai cita-cita yang tinggi. Hanya saja, keinginan mereka tenggelam dengan kondisi yang terjadi. Habibah misalnya, siswa kelas enam SD Negeri Meulingge yang selalu meraih rangking lima besar itu, ingin melanjutkan sekolah ke taraf yang lebih tinggi. Sebentar lagi ia akan meninggalkan bangku sekolah dasar.

“Saya ingin sekolah yang tinggi,” kata Habibah. Sayang, ia bakal tak bisa menggapai keinginannya. Pasalnya, ekonomi orangtuanya tak mendukung. Bagi orangtuanya, mustahil jika setiap hari harus mengantar putri tertuanya itu ke sekolah yang berjarak 1,5 jam perjalanan.

Nurdin Ibrahim, ayah Habibah, berharap pemerintah akan membuka SMP di Rinon pada 2014 atau 2015 ini. “Kalau memang jadi, ya mungkin di sana kita sekolahkan,” kata Nurdin. Ia sebenarnya ingin menyekolahkan Habibah di sebuah SMP di Banda Aceh. “Maunya anak pertama ini bisa lah minimal sekolah sampai SMA. Tapi kondisi ekonomi yang sangat berat,” ujar pria yang akrab disapa Bang Din ini.

Bang Din hanya bekerja sebagai petani, menggarap kebun yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. “Setahun cuma sekali masa panen. Itu pun hanya jika hasil tanamannya bagus, sehingga penghasilan juga tidak pasti. Kadang sebulan dapat Rp500 ribu, kadang setengahnya gak sampe,” ujarnya.

Lengkap sudah permasalahan pendidikan Pulo Aceh. Selain karena pegawai pendidikan berulah, kondisi perekonomian orangtua juga menyebabkan pendidikan anak Pulo terancam. Joko Slamet, Guru SD Meulingge menyangsikan masa depan pendidikan anak-anak di Pulo Aceh bakal cerah, jika hal demikian tidak segera diatasi. Ia tak bisa menyalahkan anak, bahkan ketika ia mendapati sebagaian anak yang hanya mengetahui sebagaian huruf abjad.

Murzani pun tak ingin menjadi pemetik cabai sepanjang hayatnya. “Kalau nanti dibangun sekolah di sini, saya ingin sekolah lagi,” kata Murzani. Alumnus SD Negeri Rinon ini masih berharap bisa menggapai cita-citanya. [tamat]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU