Saturday, April 20, 2024
spot_img

Ke Pulo Aceh, Guru Enggan Kembali [3]

PASCATSUNAMI fasilitas pendidikan di Pulo Aceh berubah total. Lima sekolah dasar yang ada di Pulo Breueh, pulau terbesar di Pulo Aceh, dibangun kembali setelah hancur digulung gelombang gergasi 26 Desember 2004 lalu. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh bersama sejumlah lembaga donor asing membangun kembali fasilitas pendidikan yang rusak secara permanen. Jadilah, kondisi fisik fasilitas pendidikan di sana terbilang bagus.

Bangunan SD Rinon berdiri megah di dekat pantai. Bangunan ini terdiri atas enam ruang belajar, toilet yang dipisahkan untuk siswa putra dan putri, kantin, ruang guru, ruang olahraga, dan perpustakaan. Terdapat pula lima rumah dinas bagi guru. Dari segi bangunan, SD Rinon tak kalah dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kecamatan lain di Aceh Besar daratan.

Sayangnya, bangunan yang bagus itu tak diimbangi dengan fasilitas lainnya. Selain guru yang jarang hadir untuk mengajar, sarana perpustakaan di sekolah itu tak terawat dengan baik. Ruang perpustakaan yang berdiri di samping bangunan utama tak dilengkapi dengan buku. Hanya sedikit saja buku yang tersedia di bangunan berbentuk rumah tipe 36 itu. Puluhan buku terlihat dalam kondisi rusak, karena terkena tempias air hujan.

“Kalau hujan, air masuk ke dalam,” kata Nurul Huda, guru kontrak di SD Rinon.

SD Meulingge juga memiliki fasilitas gedung sekolah yang lumayan bagus. Meski tak semegah SD Rinon, gedung SD Meulingge yang dibangun oleh BRR NAD-Nias terdapat enam ruang belajar, satu ruang guru, perpustakaan, dan dua unit toilet di belakang sekolah. Terdapat pula empat unit rumah dinas guru, yang terletak di depan sekolah. Sayangnya, toilet kini tak bisa digunakan lagi. Saat dikunjungi, toilet tak berair. Parahnya, di dalam salah satu jamban tersebut kini telah bersarang tawon.

“Siswa kalau ingin menggunakan toilet, ya toilet yang berada di ruang guru,” kata Joko, guru SD Meulingge.

Dari empat rumah dinas, hanya dua saja yang ditempati oleh guru kontrak. Sedangkan dua lainnya, terbengkalai.

Di SD Meulingge, fasilitas perpustakaan lumayan lengkap dibandingkan SD Rinon. Selain bersih karena berlantaikan keramik, perpustakaan juga dilengkapi puluhan judul buku bacaan, selain alat peraga. Para guru yang menetap acap mengajak siswa ke perpustakaan kala waktu istirahat tiba.

Fasilitas sekolah yang lebih bagus lagi terdapat di SD Negeri Ulee Paya di Gugop. Sekolah yang memiliki 148 siswa ini memiliki enam ruang belajar, perpustakaan, rumah dinas guru, toilet, dan sarana olahraga. SD Ulee Paya merupakan sekolah paling banyak muridnya di Pulo Aceh.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Aceh Besar, di kecamatan terluar itu terdapat delapan unit sekolah dasar, yang berada di Desa Rinon, Meulingge, Lapeng, Lampuyang, Ulee Paya, Rabo, Dedap, dan Kandang. Di delapan sekolah dasar itu terdapat 463 siswa, 45 orang guru berstatus PNS, 25 guru kontrak, dan satu guru honorer. Selain SD, terdapat dua SMP dan dua SMU yang tiap unitnya berada di masing-masing pulau.

***

JAM baru menunjukkan pukul 10.30 WIB, kala sejumlah siswa SD Rinon bercengkrama di luar kelas. Selain bermain di halaman dalam sekolah, beberapa di antara mereka saling kejar-kejaran dan asik naik ke pohon seri yang terdapat di sana. Di ruang kelas lima dan enam, Mulyani dan Dyah Susilowati sedang mengajar.

“Nak, masuk,” kata Dyah mengajak murid kelas empat untuk kembali masuk kelas, yang sebelumnya ia tinggal sebentar untuk masuk ke kelas lima. Siswa yang tadinya bermain-main di luar kelas, kembali berhamburan memasuki ruangan.

Begitulah kondisi proses belajar mengajar di SD Rinon pada awal Oktober 2013. Hari itu, pengajaran hanya dikawal oleh tiga guru kontrak. Karena hanya bertiga, jadilah masing-masing mereka kebagian mengajar dua kelas.

Kondisi ini terjadi karena guru berstatus pegawai tetap, menerapkan sistem bergiliran dalam mengajar. Artinya, ketika guru A hadir di sekolah, maka guru lainnya libur. Guru hanya mengajar dua minggu sekali per dua orang. Selebihnya mereka libur. Begitu terus menerus.

Hal tersebut telah disepakati bersama antar guru di sekolah. Namun, peraturan yang disepakati bersama tersebut dilanggar berjemaah. Ramai-ramai guru tidak datang ke Pulo Aceh. Sebagian menghabiskan harinya di Banda Aceh atau Aceh Besar. Di sekolah, hanya tersisa guru kontrak, dan guru bakti.

“Kalau dua guru hadir mengajar, dua guru lainnya libur,” kata Nurul Huda, guru kontrak di SD Rinon. Meski ia mengaku demikian, dalam dua kali kesempatan menyambangi SD Rinon, tidak sekali pun pegawai tetap yang tampak. Ketika ditanyakan perihal itu, Nurul Huda tersenyum sambil mengiyakan. Sepengetahuan Nurul Huda, sistem bergilir itu disepakati para guru setelah berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Aceh Besar.

Menurutnya, jika sistem giliran itu tidak diambil para guru, sebenarnya tenaga pendidik di SD Rinon mencukupi. Sebab, mereka memiliki lima guru berstatus PNS dan tiga guru kontrak.

“Kalau benar-benar dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ada, guru cukup,” ujar Nurul yang baru dikontrak per Juli 2013 lalu, setelah menjadi guru bakti selama dua tahun. “Tapi ini kan guru menerapkan sistem rolling.”

Akibat sistem mengajar bergilir ini, Nurul mengaku kualahan menangani 43 murid. “Karena harus mengajar dua sampai tiga kelas sendirian,” sebut jebolan Universitas Muhammadiyah Aceh ini. “Jika ada guru-guru lain kan kita bisa fokus mengajar satu kelas saja, sehingga lebih maksimal hasilnya.”

Hal serupa juga dialami Yusnaini di SD Meulingge. Guru asal Aceh Utara ini mengabdi sebagai guru bakti sejak tahun 2008. Sama dengan Nurul Huda, baru Juli lalu Yusnaini menandatangani kontrak. [bersambung]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU