Thursday, March 28, 2024
spot_img

Ke Pulo Aceh, Guru Enggan Kembali [1]

KEHADIRAN Murzani di tengah puluhan bocah yang bersenam di halaman SD Negeri Rinon tak sedikitpun menarik perhatian. Ia bertubuh ceking. Rambut disisir rata samping. Mengenakan pakaian bebas, sambil loncat-loncat ria mengikuti gerakan senam. Lincah pastinya.

Namun sebenarnya, Murzani berbeda dengan anak lain yang bersekolah di Kecamatan Pulo Aceh, itu. Dia tidak lagi berstatus siswa. Padahal usianya baru 12 tahun. Pendidikan bocah asal Alue Raya ini putus karena tak ada SMP di tempatnya tinggal, sebuah kecamatan kepulauan terpencil di Aceh Besar. Jika ingin lanjut, sekolah terdekat berjarak 20 kilometer. Butuh waktu 45 hingga 50 menit untuk sampai ke SMP Negeri 1 Pulo Aceh di Blang Situngkop, setelah melewati dua gunung tinggi. Tidak ada transportasi publik, sehingga menyulitkan Murzani bersekolah di sana.

M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM

“Setiap hari Sabtu saya ke sekolah, ikut senam saja,” kata Murzani singkat, September 2013 lalu.

Karena itu, di usia yang masih belia, Murzani sudah harus menjalani hidup layaknya orang tua di Pulo Aceh. Ia mulai terlatih mendaki gunung, memanggul karung di bahu sambil memetik cabai. Meski demikian, hasratnya untuk melanjutkan pendidikan masih tertanam, jauh di dalam dirinya.

“Tidak tahu mau sambung di mana. Paling sekarang bantu orang tua petik cabe ke gunung. Tapi kalau nanti dibuka SMP di sini, saya akan lanjut,” ujar Murzani berharap. Dari empat lulusan SD Negeri Rinon pada tahun lalu, hanya satu kawan Murzani yang melanjutkan sekolah menengah di Banda Aceh. Selebihnya putus sekolah.

Hasan Triakfi, guru Murzani mengatakan, bocah itu punya minat belajar tinggi. Hasan sendiri merupakan guru yang diperbantukan di SD Negeri Rinon. Ia lulusan Universitas Negeri Semarang yang menjadi salah seorang relawan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Ini merupakan sebuah program Kementerian Pendidikan Nasional yang mengontrak lulusan baru universitas untuk menjadi tenaga pengajar yang bakal ditempatkan di daerah terpencil di Indonesia.

“Ia bahkan tak ingin cepat-cepat lulus dari sekolahnya,” kata Hasan. Menjelang Ujian Nasional tahun lalu, dirinya harus menjemput Murzani di rumahnya.

“Katanya dia nggak mau ikut, biar kelas enam aja. Kalau lulus dia bilang nggak tau mau sekolah di mana nantinya,” kata Hasan yang setahun mengajar di SD Rinon.

Rinon sebuah desa yang jauh dari kasak-kusuk kota. Butuh waktu tiga jam mengarungi lautan dari Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh, untuk bisa menuju ke desa yang dikelilingi lautan dan pegunungan ini. Di sinilah Hasan bertugas sejak tahun 2012 lalu. Ia mengakhiri tugasnya pada September 2013 lalu.

Kisah Murzani tak jauh beda dengan Firdaus, 12 tahun. Bocah bertubuh gempal asal Meulingge, desa paling ujung di Pulo Aceh. Dari Banda Aceh, ia berjarak sekitar 30 meter dan butuh waktu 4 jam ke sana. Firdaus juga harus mendaki gunung, membantu keluarganya memetik cabai di waktu senggang. Suatu waktu, ia bahkan sampai tiga hari tidak masuk kelas, karena masa panen telah tiba. Siswa kelas enam SD Negeri Meulingge ini meminta izin ke gunung untuk mencari uang.

“Untuk beli sepatu,” ujarnya singkat. Sayang, sepatu yang baru ia kenakan beberapa bulan itu kini telah sedikit bolong, menyembulkan kaus kaki warna hitam dari jari kakinya yang besar.

Bocah yang baru bisa membaca dengan cara mengeja tersebut juga terancam putus sekolah. Masa depan siswa kelas enam tersebut barangkali bakal berakhir di ladang cabai. “Setelah SD paling ke gunung, tanam cabe. Tidak tau mau lanjut ke mana,” katanya. Ia menunduk.

Apa yang dialami Murzani dan Firdaus merupakan potret miris pendidikan anak di Pulo Aceh, kecamatan kepulauan yang terletak sekitar 25 kilometer barat Banda Aceh. Hal yang sama juga bakal dihadapi hampir sebagian besar anak-anak usia sekolah di Pulo Aceh. Tak heran jika mendapati anak yang tak sepenuhnya menguasai baca-tulis di desa-desa kepulauan terluar barat Indonesia ini.

M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM

Di Kecamatan Pulo Aceh terdapat 13 pulau, dua di antaranya berpenduduk (Pulo Breueh dan Pulo Nasi). Dari Banda Aceh, jarak tempuh ke pulau ini dua jam dengan perahu nelayan ke dermaga Lampuyang, tempat persinggahan terdekat di Pulo Breueh. Tidak ada jalur transportasi yang menghubungkan antarpulau meski jaraknya berdekatan. Jika warga Pulo Nasi ingin ke pusat kecamatan di Pulo Breueh, mereka harus menyewa boat nelayan atau bepergian dari Banda Aceh. Sementara transportasi umum tidaklah ada. Masyarakat bepergian dengan sepeda motor pribadi, atau menyewa pick up. Jarak antardesa pun tidak berdekatan. Misalnya, Desa Rinon dan Meulingge berjarak lima kilometer, yang dipisahkan pegunungan tinggi.

Sulitnya akses transportasi menjadi kendala utama bagi bocah-bocah Pulo Aceh untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Misal saja, mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Meulingge, harus melanjutkan SMP di Blang Situngkop, yang harus ditempuh dalam waktu 1,5 jam perjalanan naik-turun gunung. Jika kondisi hujan, jalanan yang mendaki amat curam untuk dilewati. Desa Meulingge berada di ujung paling barat pulau tersebut. Butuh waktu satu setengah hingga dua jam dari Dermaga Lampuyang, dermaga utama pulau itu.

Selain jalur akses ke sekolah, pendidikan di Pulo Aceh juga menyimpan segudang permasalahan. Letak Pulo Aceh yang jauh dari Jantho, ibukota Kabupaten Aceh Besar –yang berjarak sekitar 100 kilometer, membuat tenaga pendidik berstatus pegawai negeri sipil enggan menetap di sini. Akibatnya, sistem pengajaran pun tak maksimal. Sebagian besar tenaga pendidik uring-uringan dalam mengajar. Mereka hadir di sekolah tidak menentu. Jadilah pengajaran hanya diisi oleh guru yang statusnya honor. Setidaknya kondisi inilah acehkita.com temukan ketika dua kali bertandang ke SD Meulingge dan SD Negeri Rinon pada akhir September dan awal Oktober 2013 lalu.

Saat bertandang ke SD Negeri Meulingge pada akhir September lalu, pengajaran hanya diisi oleh empat guru kontrak tersebut. Mereka berempat harus mengawal enam kelas. Tak jarang, mereka terpaksa menggabungkan dua kelas menjadi satu untuk mengefektifkan pengajaran. Begitu pula di SD Rinon. Saat mengunjunginya kembali pada awal Oktober, kondisi masih belum berubah. Di dua sekolah ini, hanya guru kontrak yang mengajar. Sementara guru pegawai negeri sipil tidak menampakkan batang hidungnya. Kondisi ini tak berlangsung satu-dua hari saja, tapi hampir bisa ditemui saban hari sekolah. [bersambung]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU