Wednesday, April 24, 2024
spot_img

Iqlil Tengku Ilyas Leube: Sosok Kawan, Abang, dan Orangtua

TULISAN ini untuk mengisi rasa rindu kepada salah satu abangda yang pernah menjadi guru dan orangtua di dalam rantau. 

Siapa Bang Iqlil? Nama lengkapnya adalah Iqlil Tengku Ilyas Leube, seorang tokoh muda Aceh Merdeka, anak dari assyahid Tengku Ilyas Leube, pimpinan utama Aceh Merdeka asal tanah Gayo. Alumni Libya, anak didik langsung Tengku Hasan Muhammad di Tiro, dan setia kepada perjuangan sampai akhir hayatnya.

Pada awal September 2001, kami tiga putra Aceh yang tinggal di Bangkok mendapat informasi bahwa dalam beberapa minggu kami akan berangkat ke Amerika Serikat dan akan bermukim di sana. 

Ketika sedang di sebuah warnet untuk mengirimkan email kepada klinik IOM tentang imunisasi sebagai syarat keberangkatan, terjadi penyerangan gedung WTC di New York. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan 9/11. Amerika berduka dan menutup perbatasannya untuk keluar masuk bagi semua penerbangan. Keberangkatan kami ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Karena pelbagai hal, kami mendapatkan kabar akan berangkat bulan Mei. 

Saya memilih ke Pennsylvania, karena di kota Harrisburg, ibukota negara bagian tersebut, ada komunitas Aceh di sana. Ada Musrial Mahfuzh, anak almarhum Tengku Muhammad Lampoihawe, menteri keuangan GAM dan Musanna Tengku Abdul Wahhab, cucu Tengku Chik di Tiro dengan keluarga. 

Selain itu saya berkeras memilih kota ini, sebab hanya berjarak empat jam bermobil ke kota New York dan dua jam ke ibukota Washington DC. Tujuan bermukim ke Amerika Serikat bukan hanya untuk bekerja, tetapi berniat untuk kampanye dan berbuat sesuatu untuk Aceh, maka kota ini sangat tepat.

Kalau ada program lobby ke kongres Amerika yang biasanya dikomandoi organisasi East Timor Action Network (ETAN), yang sesudah merdeka Timor Leste, menfokuskan diri untuk agenda advokasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, khususnya Papua dan Aceh, maka acara lobby akan mudah kami ikuti, sebab hanya dua jam perjalanan.

Demikian juga kalau ada kegiatan di lembaga-lembaga internasional seperti PBB, atau NGO pro HAM di New York, maka dengan mudah kami datang menghadirinya, hanya empat jam perjalanan darat.

Zulfikar Ben dan Muzakkir, dua teman seperjalanan dari Bangkok tidak beruntung mendapat kota yang sama. Mereka berdua ditempatkan di kota petir, Houston, Texas. 

Ketika kami berpisah di airport LAX Los Angeles, menuju tujuan masing-masing, saya ingatkan kepada kedua kawan itu agar berupaya pindah secepatnya ke Pennsylvania, sebab tujuan ke Amerika adalah untuk berjuang, bukan mencari kerja.

Ketika kami di Bangkok dan dalam banyak kesempatan, Bang Iqlil selalu bermurah hati menghubungi kami via telepon, tidak pernah dengan SMS. Kemudian hari kami tahu, bahwa Bang Iqlil lebih senang menelepon, sebab tangannya lumayan besar sehingga kurang nyaman kalau dipakai untuk menekan tuts telepon untuk ber-SMS.

Bang Iqlil selalu memberikan arahan, informasi baru, dan hampir tiap malam berdiskusi dengan kami seputar perjuangan Aceh Merdeka. Bang Iqlil juga tidak pelit ilmu, semua pengalaman yang pernah dijalani disampaikan. Semangatnya sangat tinggi, mengenal hampir semua rekan seperjuangan di dalam Aceh Merdeka, baik di Aceh maupun di Malaysia dan di negara lainnya.

Sesampai saya di Middletown, airport di luar kota Harrisburg, yang menjemput adalah bang Musanna dan istrinya. Raihan, anak perempuan pertama bang Musanna masih dalam gendongan. Wajah bang Musanna agak sedikit tegang, demikian juga saya, sebab ini pertemuan pertama kami. Telah bertahun mengenal via telepon dan dunia maya, sudah berabang-adik, ini pertama jumpa. Bang Musanna memeluk dengan erat, pakai jeans, bersepatu caterpillar berbesi di depan. Rupanya baru pulang kerja.

Bang Musanna langsung membawa ke rumah bang Mahfuzh, sebab sebelum mendapat rumah sendiri, saya rencana menumpang di tempat beliau dan keluarga.

Sore hari, baru datang bang Iqlil. Badannya besar, mata agak mengantuk. Rupanya beliau tinggal di Baltimore, Maryland, sekitar 1 jam 30 menit dari Harrisburg. Bang Iqlil datang dengan senyuman lebar dan sangat hangat, saya dipeluk lama. Saya merasa bahwa bang Iqlil benar-benar menyayangi saya.

Lapak bakar ikan sudah disiapkan oleh Kak Ida Hamzah, istri bang Mahfuzh. Kami ramai-ramai memanggang ikan di dalam suasana penuh kekeluargaan di awal musim semi tahun 2002.

Kemudian kawan-kawan mulai ramai berdatangan, kami bercerita banyak malam itu. Terlihat dari semua yang ada, bang Iqlil yang paling dituakan dan paling disegani oleh semua, termasuk oleh bang Musanna dan bang Mahfuzh.

Selanjutnya, semasa bermukim di Amerika, bang Iqlil banyak sekali mewarnai kawan-kawan semua. 

Sifat rajin menanam yang sering kita jumpai di kalangan masyarakat kita Gayo, beliau warisi dengan sempurna. Sepanjang tahun di musim menanam, di tembok sekeliling rumah, bang Iqlil tanam tomat, cabai dan sayur-sayuran. Setiap minggu bang Iqlil datang ke Harrisburg, mobilnya penuh dengan plastik berisi cabai dan tomat dan dibagikan kepada kami.

Semua yang berurusan dan tidak punya mobil, diantar oleh bang Iqlil ke mana saja. 

Siapapun datang dari Aceh, mendukung atau tidak mendukung GAM, bang Iqlil dengan ringan langkah datang dan berjumpa. Daya tahan dalam membawa mobil sangat prima, bisa berjalan berjam-jam tidak berhenti, dengan syarat bisa merokok. Saya pernah duduk di samping bang Iqlil selama enam jam, tangan kanannya memegang kemudi seperti menempel (di Amerika, kemudi di sebelah kiri), dan tangan kiri memegang rokok dengan jendela sedikit terbuka. Tugas saya sebagai co-pilot, hanya membakar rokok baru setelah rokok lama habis.

Selama di Amerika, saya melihat bang Iqlil tidak pernah absen  dalam mengikuti seluruh kegiatan untuk Aceh. Sekecil apapun. Apakah itu lobby di kongres, demo-demo di depan KBRI di Washington, DC. dan Perwakilan Tinggi Indonesia PBB di New York (PTRI) atau diskusi-diskusi, public speaking atau fund rising untuk korban tsunami.

Semua mencintai bang Iqlil.

Di Amerika ada beberapa kelompok masyarakat. Ada majelis dan anggota GAM dengan Acheh Center, semua dekat dengan bang Iqlil.

Ada kelompok orang Aceh yang datang ke Amerika hanya untuk bekerja, mereka akrab dengan bang Iqlil.

Ada teman-teman serombongan berangkat dengan bang Iqlil yang menentang GAM dan berbeda pendapat, juga menghormati bang Iqlil.

Pekerja-pekerja Indonesia di kawasan itu, juga sangat menghargai bang Iqlil, selain karena suka menolong,  bang Iqlil juga dipercaya untuk membawa tumpangan pekerja itu ke sebuah pabrik packing kosmetika terkenal. 

Di saat kami kesulitan kerja atau yang ingin mencari tambahan, bang Iqlil juga membantu mencarikan kerja lepas untuk kawan-kawan yang ada.

Bang Iqlil jarang marah, suka sekali bercanda. Sering merindukan anak dari istri pertamanya bernama Haqqi. Sewaktu membuat email untuk bang Iqlil, ketika saya tanya mau pakai username apa, langsung dalam sedetik dijawab, amanhaqqi. Aman adalah ayah dalam bahasa Gayo.

Dalam kehidupan keluarga pun, setiap ada masalah, bang Iqlil adalah tempat untuk mengadu. Selalu ada waktu walau tengah malam untuk datang menyelesaikan persoalan.

Sebagai manusia bang Iqlil bukan tidak ada kelemahan. Salah satu kelemahannya, karena suka bergadang dan tidur setelah salat shubuh, maka jangan harap akan bisa dihubungi atau dibangunkan sebelum jam 10 pagi. Pernah suatu waktu, istri bang Iqlil saat itu, kak Meutia, putri dari Tengku Malik Mahmud, datang ke Amerika. Sebagai warga negara Singapura, tidak perlu visa dan bisa langsung masuk dengan visa on arrival di bandara. Kebetulan masuk melalui airport Saint-Paul yang agak jarang didatangi penumpang negara-negara Islam, beda dengan JFK di New York atau LAX di Los Angeles. Karena memakai jilbab, diperiksa sedikit ekstra, dan ditanyakan tujuan kedatangannya. Disampaikan bahwa datang ke Amerika untuk mengunjungi suami. Imigrasi meminta kak Meutia untuk menghubungi suaminya, bang Iqlil, untuk diverifikasi. Karena masih pagi dan tidur, telepon tidak diangkat, bang Iqlil tidak bisa dihubungi. Berkali-kali ditelpon, tidak diangkat. Imigrasi ragu, kemudian kak Meutia dideportasi kembali ke Singapura.

Bang Iqlil suka memasak dan belanja. Kalau kita kabari akan datang ke tempatnya, sering makanan telah disediakan. Memang hatinya sangat penuh dengan rasa persaudaraan dan persahabatan.

Setelah damai bang Iqlil kembali ke Aceh. Ketika partainya melarang mencalonkan diri sebagai calon independen dalam pilkada, bang Iqlil tidak gentar. Bang Iqlil seorang yang kuat memegang prinsip. Dia tetap maju sebagai calon independen. Walaupun kalah, tetapi mendapat dukungan sangat besar dan dihargai semua pihak. Bahkan sebagian masyarakat mendapuk bang Iqlil sebagai Reje Linge.

Ketika pergi ke Takengon, kami berkali-kali singah di komplek pemandian air panas yang dikelola bang Iqlil di Bandar Lampahan, kami jarang bertemu. Ditelepon tidak bisa terhubung. Hampir saya salah paham.

Sampai suatu waktu bertemu, bang Iqlil sudah agak lemah. Badannya tambun, masih banyak merokok. Menurut pengakuannya, sering nyeri di dada, mungkin sakit jantung. Ketika kami berjalan-jalan di seputaran kantin di komplek pemandian, terlihat bang Iqlil terengah-engah. Saya langsung tegur agar berhenti merokok. Bang Iqlil tertawa lebar dan membuang rokok yang masih setengah dari tangannya. 

Kemudian kami duduk minum kopi, kami bercerita panjang. 

Bang Iqlil mengamanahkan kepada saya, jangan takut dianggap pengkhianat kalau benar apa yang kita lakukan. 

Ikuti cara Wali Tengku Hasan Tiro dalam berkawan, beliau banyak rakan dan selalu menambah kawan. Jangan sampai kawan yang ada menjadi kurang. 

Banyak kawan-kawan kita seperjuangan di lapangan kekurangan informasi, kita harus bertanggung-jawab memberikan informasi yang benar kepada mereka. 

Dalam membangun Aceh, jangan hanya mengajak orang sedaerah saja. “Munawar dari Pidie, bek cuman pakat ureung Pidie, pakat bandum ureung dari ban saboh Aceh”. Kamu memang asal Pidie, tapi berkawanlah dan ajak kawan-kawan dari seluruh Aceh untuk membangun Aceh.

Aceh ini milik kita semua, ajak orang ramai-ramai memperbaiki Aceh. 

Itu beberapa yang saya ingat dari cerita bang Iqlil. Kemudian saya telepon bang Nasrullah Dahlawy, teman serumah bang Iqlil di Baltimore, terlihat bang Iqlil tertawa di telepon bercanda dengan kawannya itu, mungkin agak lama tidak berkomunikasi. Di akhir pertemuan, bang Iqlil berjanji akan ke Banda Aceh dan kami akan bertemu kembali. Saya sangat senang.

Saya menanti, janjinya akan datang di minggu akhir Juli.

Hari itu Kamis, 30 Juli 2015, kondisi Banda Aceh agak panas. Ada beberapa kegiatan hari itu, menerima tamu dan duduk minum kopi di sebuah warung.

Menjelang magrib, badan terasa kurang enak. Sangat gelisah, dada seperti sesak. Sulit bernafas. Selepas salat magrib langsung merebahkan diri. Tidur kurang lelap. Kadang-kadang terbangun. Sebentar-sebentar mata seperti melihat flash masa lalu. Akhirnya saya matikan semua HP, mencoba untuk bisa tidur. Dalam keadaan sesak dada, pusing kepala, akhirnya tertidur.

Tepat pukul 03.30 terbangun dari tidur. 

Kepala masih sakit, dada masih sesak. 

Setelah berwudlu dan salat isya, saya nyalakan HP dan hidupkan jaringan WIFI, tiba-tiba masuk puluhan SMS, BBM dan juga email yang berisi berita tentang berpulangnya bang Iqlil Tengku Ilyas Leube ke rahmatullah.

Saya sangat berduka..

Selamat jalan Aman Haqqi, selamat jalan bang Iqlil, semoga Allah mempertemukan abang dengan para syuhada yang telah mendahului sebelumnya. []

Tanjong Pagar Air, Aceh Besar, 4 Desember 2015

MUNAWAR LIZA ZAINAL

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU