Saturday, April 20, 2024
spot_img

Indonesia, Tapi Beda… [2]

Di Kolam Relawan Guru Buka Kembali Sekolah yang Tutup

PAGI YANG TENANG. Cuaca tak terlalu berangin. Jadinya sungai tak bergelombang. Keting-ting berjalan pelan di tengah rawa, meninggalkan gelombang di belakangnya. Kali ini Andra membawa Cahyo meninggalkan Boha, menuju Kampung Kolam. Jarak antar kedua kampung sekitar satu jam.

“Kalau airnya sedikit bisa lebih jauh. Rawa dangkal, kita tidak bisa lewat sini” kata Andra. Perjalanan lebih banyak dilalui dari rawa yang berdekatan dengan gundukan-gundukan pulau kecil yang membentuk hutan. Tempat di mana burung amat banyak. Bahkan bebek rawa, bebek yang bisa terbang dan oleh masyarakat sekitar disebut burung boya—dibaca boha, terlalu banyak.

Di Kolam, Cahyo akan menjumpai Ikhsan Ansori dan Siswoyo Heri Kiswanto. Keduanya juga mahasiswa olahraga Unnes Semarang. Dari jauh hari, Cahyo sudah memberi tahu kedatangannya lewat pesan pendek. Kampung-kampung di pulau terpencil ini sebenarnya tak mempunyai jaringan telepon yang bagus. Hanya di beberapa titik tertentu saja, sinyal kadang ada. Itupun berbicara lewat telepon harus dengan menghidupkan speaker dan bicara dengan teriak-teriak; kadang suara suka tak jelas.

Kampung Kolam telah tampak. Dari kejauhan rumah-rumah terlihat kecil. Di Kolem tak ada dermaga untuk menambatkan perahu. Jadinya, perahu diikat di pinggiran daratan yang ditumbuhi alang-alang.

Tiga anak langsung mendekat menyambut kedatangan rombongan Cahyo. “Kau tahu di mana pak Heri?,” tanya Andra. “Pak guru di sekolah. Pak guru di sekolah. Pak guru di sekolah,” kata mereka hampir serempak. Anak itu kemudian mengantar Cahyo ke sekolah SD YPK Santo Lukas Kolam.

Masyarakat Kolam terlihat amat sopan. Senyum tak pernah lekang di wajah mereka. Sapaan awal ketika berjumpa dengan para guru adalah “selamat pagi bapak guru, selamat siang bapak guru, selamat sore bapak guru.” Selalu itu yang mereka ucapkan, tersenyum berlalu sambil tertunduk. Itu juga kesan pertama yang dirasa Cahyo. Kata selamat itu telah dihafalnya dengan baik. Ia selalu melafalkannya saat berjumpa dengan masyarakat Papua; “Selamat pagi mama… Selamat pagi papa….”

SD Kolam tampak lebih tertata, meski lebih sederhana dari SD Boha. Tak ada lukisan-lukisan yang menempel di dinding. Hanya sebuah papan hitam yang ditulis kapur, meja guru, sebuah lemari di pojok ruangan, dan puluhan anak yang memenuhi ruangan. Kedatangan Cahyo disambut koor anak-anak: “Selamat siang bapak guru…”

Mereka, para pelajar Kolam adalah siswa yang sekolah tanpa alas kaki dan seragam. Di depan Cahyo, mereka unjuk kebolehan. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Dari Sabang Sampai Merauke dengan pengucapan huruf ‘E’’ yang terdengar sangat kental.

Sekolah ini sebenarnya sudah ditutup di akhir semester tahun ajaran 2013. Tak ada guru yang mau mengajar di sini. Hingga kemudian Ikhsan dan Heri tiba, sekolah ini kembali dibuka. Ihwal ceritanya, permasalahan masyarakat dengan guru. Guru yang sebelumnya menetap, punya beragam polah. Ada yang malas, hanya datang sekali sebulan untuk teken ambil gaji. Ada pula guru lokal yang berambisi menjadi kepala sekolah. Para guru juga tak segan memukul anak hingga menangis bahkan pingsan. Hal itulah yang membuat masyarakat Kolam marah. Setelah itu sekolah terhenti.

Ikhsan dan Heri telah dicerita perihal sekolah di Kolam oleh Serti Timang saat mereka tiba, akhir Agustus lalu? “Tetap di Kolam, atau kita pindahkan ke Boha dan Waan saja,” kisah Serti saat itu. Serti adalah kepala sekolah SD Boha yang mengantarkan Ikhsan dan Heri ke Kolam dan Andra serta Faatih ke Waan.

“Tapi kita tetap pilih Kolam. Dari awal hati saya merasa tergetar melihat di media, bahwa orang Papua sangat butuh sentuhan pendidikan,” kata Ikhsan. “Saya juga tidak pernah membayangkan akan di sini. Awalnya bahkan ketakutan. Banyak yang bilang, di sana masih ada yang makan manusia, banyak yang ingin merdeka. Ternyata setelah tiba di sini berbeda. Mereka baik-baik,” kata Ikhsan. Ia bahkan berkeinginan untuk kembali, suatu hari nanti.

Saat pertama tiba di Kampung Kolam, masyarakat bertanya keseriusan mereka untuk tinggal dan mengajar. Melihat keinganan yang besar, masyarakat mendukung. Mengumpulkan anak-anak, lantas bersama membersihkan dan mengaktifkan kembali sekolah.

“Satu bulan kita coba adaptasi. Masyarakat di sini beda dengan di Jawa. Mereka wataknya keras. Ketika ada sedikit salah dan tidak suka, mereka langsung pakai kekerasan dan ambil busur,” ujar Ikhsan ketawa.

Yang membuat Ikhsan dan Heri termotivasi untuk tetap tinggal adalah banyaknya anak-anak di Kampung Kolam. Mereka yang usia Sekolah Dasar saja mencapai 80 orang. “Apalagi sekolah sudah terhenti 5 bulan. Belum lagi SD Kolam ini, telah libur lebih dari setahun. Bagaimana anak-anak,” kata Ikhsan. “Rasa iba guru di sini saya rasa sangat kurang. Kenapa mereka harus mengajar dengan baku pukul?.”

Bagi Ikhsan, anak Papua adalah anak yang mengasikkan. Mengajarkan mereka haruslah dengan mengajak belajar sambil bermain. Tantangan terberat justru ada pada orang tua. Meyakinkan orang tua agar tak mengajak anak untuk berburu atau mengambil sagu saat jam sekolah. “Mereka mulai tahu sebetulnya. Tapi masih sepele,” kata Ikhsan. “Kondisi fisik memengaruhi anak-anak dalam belajar,” timpal Heri.

Kondisi itu membuat anak memang dominan buta aksara. Hingga 3 bulan lamanya, Ikhsan dan Heri terus melatih mereka membaca. “Dulu itu masih nol. Mereka buta huruf sama sekali,” ujar Heri prihatin. “Sekarang sudah bisa membaca huruf-huruf panjang, dan kita mulai mengajar mereka berhitung.”

“Saya punya satu pemikiran, bahwa saya harus membuat anak-anak dari tidak bisa menjadi bisa. Waktu 11 bulan di sini waktu yang cepat. Tidak mungkin mencerdaskan anak dalam tempo 11 bulan,” ujar Heri. Ia terlihat sedih.

Rasa nasionalisme adalah hal awal yang ditanamkan pada diri anak. Mereka, anak-anak Kampung Kolam tak hafal lagu Indonesia Raya. Bendera tak pernah berkibar di SD Kolam. “Padahal mereka juga orang Indonesia yang punya hak dan kewajiban untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan masyarakat lain di perkotaan. Meskipun ini pedalaman, ini adalah Indonesia.” Heri menggurutu.

Heri patut berbangga. Saat ini, merah-putih telah berkibar tinggi seperti apa yang ia cita-citakan. Anak-anak pun lancar menyanyikan lagu Indonesia raya, dan lagu bertema nasionalisme lainnya. Mereka kita mulai bisa membaca, meski belum sepenuhnya lancar. “Ketika saya pulang, mereka tahu baca, tahu lagu kebangsaan, merah-putih berkibar, saya sangat bangga,” ujar Heri. [BERSAMBUNG]  >> HALAMAN 12, 3, 4, 5

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU