Ka masak bang Zainon?” tanya seorang perempuan setengah baya. Ia memakai kain batik panjang sebagai penutup kepalanya, bersarung, dan menteng timba berwarna merah.

Beu beukah ju ilee (biar benar-benar mendidih dulu),” jawab laki-laki yang disapa itu sambil terus mengaduk belanga besar di depannya dengan centong besar yang terbuat dari batok kelapa disambung kayu panjang. Masyarakat Aceh mengenal alat aduk itu dengan nama aweuk.

Tak berapa lama, anak kecil datang membawa dua bongol jagung. Ia ingin memasak jangung itu di dalam belanga besar itu. Setelah mendapat izin dari Zainon, sang anak melempar perlahan jagung ke dalam air berwarna merah yang sedang mengeluarkan gelembung kecil. Ketika ia mengaduk sedikit terlihat tak hanya air yang dimasak namun juga beberapa dedaunnan, bersama berasa yang telah menjadi bubur dan juga kelapa yang diparut kasar. Orang-orang mengenalnya dengan nama Ie Bu Peudah.

Ie bu peudah adalah minuman atau bubur yang terbuat dari campuran empat puluh empat macam dedaunan. Campuran di dalamnya adalah kunyit, lada, beras dan kelapa.

Na oen kaye, ie lada, kunyet, aweh, beras ngoen ue, miseu oen kaye lee macam oen obat lagenyan (ada dedaunnan, air lada, ketumbar,beras dan kelapa, kalau daunnya itu ada bermacam-macam yang bisa dipakai jadi obat),” ujar Zainun.

Zainun sudah dipercaya memasak menu berbuka puasa ini bertahun-tahun lalu. Saban tahun,saat Ramadan tiba, ia menjadi koki ie bu peudah di kampungnya, Desa Bak Buloh, Aceh Besar.

Sama seperti halnya desa lain di Aceh Besar, bagi masyarakat Bak Buloh, memasak ie bu peudah sudah menjadi ritual saban Ramadan. Bubur rempah-rempah ini dengan mudah dijumpai sebagai menu buka puasa di Lam Raya, Cot Raya, Cot Yang, Lam Seunong, Aron, Bung Bak Jok, Gampong Meugat, Lam Sabang, misalnya. Bubur ini dimasak usai salat duhur. Nantinya, usai salat asar, bubur itu dibagikan kepada masyarakat sebagai menu berbuka puasa. Selebihnya, bubur juga dijadikan minuman bagi mereka yang bertadarus atau menghidupkan malam di meunasah atau masjid.

Ie-BU-Peudah-1
Khiththati/ACEHKITA.COM

Memasak ie bu peudah sudah dilakukan warga Aceh Besar sejak turun temurun. “Selalu dimasak di meunasah saat bulan puasa,” ujar Yunus, warga Desa Aron berusia 68 tahun.

Bahan ie bu peudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum Ramadan tiba. Dedaunan 44 rempah biasanya dicari sekira sebulan sebelum Ramadan. Kepala desa akan mengumumkan di meunasah kapan waktu dedaunan itu akan dipetik.

Menurut Yunus biasanya selain mencari daun mereka juga akan meuramin sehingga orang yang ikut bisa mencapai dua mobil pikap seperti orang pergi gotong royong di kampung.  Meuramin adalah makan bersama. Biasanya setiap orang membawa serta nasi bersamanya dan kalau ada kemudahan bisa potong ayam atau bebek. Yang pergi mencari daun ke bukit-bukit adalah tiga generasi yang berbeda yang pertama adalah orang tua yang sudah mengenal daun-daun yang akan digunakan kedua adalah pemuda dan ketiga adalah anak-anak yang akan diperkenalkan dengan daun yang diperlukan. Ada daun yang tidak boleh dipetik karena pahit seperti daun japa yang biasa digunakan untuk obat.

“Kami dulu juga diajarkan oleh orang tua tentang daun mana yang boleh diambil yang mana tidak karena ini merupakan resep warisan turun temurun karena daun itu tidak semuanya dapat digunakan nanti ada yang pahit ada juga yang membuat gatal,” tambah Yunus.

Menurut Zainun sekarang ini banyak juga anak muda yang menggunakan sepeda motor untuk mencari dedaunan di sekitar hutan dan gunung Cot Keung. Di antara daun yang digunakan adalah Seurapat, Seumalu Batee, Murong Batee, Tahe Peuha, Tungkat Ali, Teumiti, Balek Angen, Zhahib Ha, daun jemblang dan daun saga.

Daun yang sudah dipetik akan dijemur selama empat hari atau lebih untuk memastikan daun benar-benar kering dan hanya daun Saga yang tidak dijemur. “Di kampung yang menjemur nantinya diupah dengan padi dua blet atawa 20 are pade,” cerita Zainun. Satu are setara dengan  enam mok atau dua liter.

Mula-mula daun yang telah dikumpulkan dijemur sampai rapuh lalu ditumbuk sampai halus pakai jingki oleh perempuan-perempuan. Jingki adalah alat penumbuk tradisional yang bisa digunakan untuk menumbuk padi atau beras hingga menjadi tepung. “Kalau memetik tugas yang laki-laki maka yang menumbuk dilakukan oleh perempuan yang juga diumumkan juga di meunasah waktunya dan semua itu dilakukan suka rela kalau digiling pakai mesin tidak enak,” tutur Zainun.

Setelah semua daun selesai ditumbuk diaduk dengan lada dan kunyit yang juga telah dihaluskan bersama lima are dengan ukuran daun satu karung isi 50 kilogram. Namun kunyitnya tidak dijemur. Kemudian semua bahan yang telah siap diberikan kepada orang yang ditunjuk untuk memasak lalu kemudian dijemur lagi. Tahun ini daun yang berhasil dikumpulkan sebanyak enam karung.

Zainun selaku orang yang ditunjuk saat musyawarah desa untuk memasak ie bu beudah sudah mulai membersihkan beulagong tepat jam 2 siang. wadah yang digunakan adalah wajan besi ukuran besar yang dapat menampung hinga 12 timba air besar. Ia memasak tepat di samping kiri meunasah. Tempat memasak itu seukuran kamar kecil yang terletak di sisi timur arena berwudlu ada dua tungku yang sudah disemen dan dua belanga besar. Zainun memilih yang lebih landai agar dapat menampung lebih banyak air sedangkan untuk menjaga api agar terus hidup ia memilih bambu panjang yang sudah kering dan sedikit pelepah pohon kelapa.

Setelah belanga dibersihkan, Zainun memasukkan bambu dan menyalakannya. Lalu memasukkan air setengah belanga, yang disusul semua bahan yang sudah dijemur sebanyak dua aweuk besar, air lada putih, lada hitam, aweuh dan kunyit yang sudah dihaluskan ditambah dengan beras sebanyak tiga are. Dimasak sehingga beras berubah menjadi bubur kemudian dimasukan daun saga ditambah lagi air hingga penuh. Setelah itu dimasukkan garam. Setelah mendidih api tetap tidak dimatikan agar tidak cepat basi. Selama tiga jam proses memasak, Zainun terus mengaduk-aduk isi wajan besar tersebut sambil berdiri dan sesekali memasang bambu baru agar api tetap menyala. Bambu digunakan karena ia dapat menambah harum, menjaga api agar menyala lebih stabil dan tidak membuat makanan lekas basi.

Warna merah yang kemudian muncul pada air yang sudah mendidih ini merupakan warna alami dari daun Zhaib Ha. “Hari ini sedikit lebih merah,” ujar sang juru masak terkekeh.

Selama bulan Ramadan, desa ini menghabiskan 85 are beras yang semuanya diambil dari hasil bertani sawah yang telah diwakafkan ke meunasah. Juru kokinya sendiri mendapatkan upah selama sebulan 120 are beras yang akan diberikan saat pembagian zakat fitrah di hari terakhir puasa. Kampung ini terus mengadakan masak ie bu peudah sepanjang bulan kecuali di saat ada kenduri puasa karena belanga akan dipakai untuk memasak kuah kari untuk seluruh penduduk atau lebih dikenal kuah beulangong.

Desa ini juga tidak pernah berhenti memasak ie bu peudah selama Ramadan walaupun desa ini pernah menjadi daerah garis merah saat konflik dulu. “Tidak pernah berhenti, waktu konflik kami juga ada memasak, alhamdullilah tidak apa-apa,” cerita Zainun.

Ie bu peudah diyakini memiliki banyak khasiat bagi kesehatan dan menambah stamina saat berpuasa. Masing-masing dauh memiliki khasiatnya sendiri seperti untuk mencegah perut kembung, ganguan lambung hingga obat batu seperti daun saga.

Menjelang proses memasak selesai, anak-anak yang bermain di sekeliling meunasah pulang untuk memberitahu orang tua dan mengambil timba kecil. Masyarakat datang dengan membawa timba kecil atau berukuran sedang berwarna warni, cerek ataupun gayung namun ada juga yang membawa kantong plastik dan mereka biasanya datang dari luar kampung. Pintu dapur itu baru ditutup ketika malam sehingga siapa yang ingin mengambil boleh masuk walaupun tidak ada Zainun di sana.

Tua dan muda keluar rumah dan mengantre di pintu dapur, Zainun juga terus membagi hasil ramuannya yang masih panas dengan hati-hati. Hanya 15 menit kuali tersebut sudah berkurang setengah airnya. “Siapapun yang mau mencoba dan suka silakan datang kemari bukan warga sekitar sini juga boleh” kata Zainun. []

Naskah dan Foto: KHITHTHATI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.