BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menggandeng Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) untuk membuka posko pengaduan terkait distribusi Jaringan Pengaman Sosial (JPS) dan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Covid-19 di Aceh. Selain Aceh, posko pengaduan yang digagas ICW bersama jaringan antikorupsi juga dibuka di 12 daerah lainnya.
Anggota Badan Pekerja ICW, Almas Sjafrina, mengatakan langkah tersebut juga dimaksudkan untuk menghimpun dan mengidentifikasi lebih dalam mengenai implementasi kebijakan pemerintah untuk menangani Covid-19 dan mendorong transparansi serta akuntabilitasnya.
Ia menjelaskan, 13 daerah yang dimaksud yaitu Aceh, Medan, Palembang, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Semarang, Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Bali, Makassar, Manado, dan Kendari.
“Pemilihan daerah-daerah ini didasarkan pada pertimbangan penyebaran Covid-19, kerentanan penyaluran JPS, dan ketersediaan mitra ICW di daerah, mengingat penerimaan pengaduan memerlukan pengelolaan dan tindak lanjut yang jelas,” kata Almas dalam keterangannya, Rabu (3/6).
Menurutnya, realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di antaranya difokuskan untuk belanja sektor kesehatan dan pemberian JPS kepada warga yang rentan terkena resiko sosial dan dampak Covid-19.
Ia menyebut, pada 31 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan dari Rp 405,1 triliun APBN, sebanyak Rp 75 triliun (18,5%) disebut untuk belanja alkes dan Rp 110 triliun (27%) untuk JPS. “Anggaran ini belum termasuk realokasi anggaran daerah, dana desa yang berasal dari APBN, dan anggaran tiap kementerian/lembaga yang juga memberikan JPS kepada warga,” sebutnya.
Almas menambahkan, belanja alkes dan JPS pada dasarnya mendesak dibutuhkan, mengingat fasilitas kesehatan tak sepenuhnya siap menangani pasien Covid-19 dan dampak wabah juga secara cepat memukul sisi sosial ekonomi warga. Sejumlah sektor ekonomi lumpuh, terjadi pemutusan hubungan kerja, dan tak sedikit masyarakat yang berkurang atau bahkan kehilangan sumber penghasilan.
“Meski mendesak dibutuhkan dan dilakukan di tengah keadaan darurat, distribusi JPS dan belanja alat kesehatan semestinya tak mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta memerlukan pengawasan,” kata dia.
“Hal itu disebabkan rentannya anggaran disalahgunakan atau bahkan dikorupsi. Terlebih lagi di kondisi darurat, pengadaan terkait Covid-19 dilakukan lebih fleksibel sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP Nomor 13 tahun 2018 dan Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2020,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, kerentanan korupsi JPS dan belanja alkes juga merujuk pada data korupsi berkaitan dua sektor tersebut selama ini. Sepanjang 2010-2019, terdapat sedikitnya 281 kasus korupsi di sektor kesehatan dan 44 persen di antaranya terkait pengadaan alkes. Dan hasil kajian KPK mengenai bantuan sosial pada 2011 dan hasil pemeriksaan BPK selama ini, terakhir penyaluran bantuan sosial 2018 hingga semester III 2019, menunjukkan rentannya bantuan sosial disalurkan tidak tepat sasaran hingga memboroskan keuangan negara.
“Saat ini, dugaan penyimpangan penyaluran JPS dan belanja alat kesehatan di tengah pandemi Covid-19 telah bermunculan, mulai dari alat tes Covid-19 yang diadakan pemerintah mempunyai tingkat akurasi rendah dan terjadi pemahalan harga dan JPS yang disalurkan tidak tepat sasaran, dikorupsi, hingga dipolitisasi,” sebut Almas.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah belum sepenuhnya transparan dalam mengelola JPS dan belanja alkes, misalnya mengenai harga beli dan jumlah alat uji yang telah didistribusikan, harga beli dan pemasok Alat Material Kesehatan (AMK), dan harga beli serta jumlah bahan baku obat dan tablet obat yang telah didistribusikan.
Sementara itu, Koordinator MaTA Alfian dalam keterangannya menyampaikan bahwa aduan yang akan pihaknya terima di antaranya terkait:
1. Dugaan korupsi dan monopoli pengadaan alat uji, Alat Material Kesehatan (AMK), dan obat
2. Informasi mengenai alat uji, Alat Material Kesehatan (AMK), dan obat dari pemerintah yang berkualitas buruk
3. Penyalahgunaan bansos:
a. Politisasi
b. Tidak tepat sasaran (khususnya mengenai exclusion error, di mana terdapat warga yang dinilai tidak layak menerima JPS atau tidak rentan terkena resiko sosial namun menerima JPS)
c. Pemotongan dan pungli
d. Pemberian fiktif
e. Pemberian double (satu penerima manfaat menerima lebih dari 1 jenis JPS dalam periode waktu yang sama)
f. Mobilisasi dan pemberian tidak sesuai ketentuan, misal seharusnya berbentuk uang, namun diberikan dalam bentuk sembako
“Pengaduan dari warga akan kami analisis untuk kemudian diteruskan kepada instansi terkait, seperti pemerintah daerah, Dinas Sosial, Ombudsman, Kementerian Sosial, aparat penegak hukum, dan lainnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan update dan rekapitulasi laporan akan dipublikasikan secara periodik melalui www.antikorupsi.org,” ujar Alfian.
Ia menjelaskan, secara nasional, aduan dapat disampaikan melalui email [email protected]. Sedangkan untuk laporan di Aceh dapat menghubungi MaTA di email: [email protected] atau WhatsApp 081264673916.[]