Go Dutch (2)

Go Dutch (2)

Saiful Mahdi*

Pandemi Covid-19 telah dan akan mengubah wajah dunia. Perubahan yang sangat signifikan. Dunia pasca-wabah adalah dunia baru dengan tatanan baru. Sebagian kita harus mulai memikirkan arah perubahan itu agar tatanan baru itu lebih berkeadilan dan lestari. Agar kita tidak terjebak pada kesalahan yang sama: perlombaan menuju kehancuran.

Bayangkan. Kota-kota metropolitan seperti Jakarta hingga kota-kota kecil seperti Banda Aceh di ujung Sumatra terus menghancurkan diri sendiri. Lingkungan hidup makin rusak saat manusia justru merasa hidup dalam modernitas. Hidup makin tak nyaman. Makin gerah, sempit, dan kotor.

Pada saat tertekan, manusia tak beriman cenderung cari aman sendiri. Nafsi-nafsi. Urusan sampah, misalnya. Sejauh tidak dalam pekarangan saya, kenapa saya harus peduli dengan kotor dan rusaknya lingkungan?

As long as it is not in my yard, terserah kalau sampah menumpuk di mana-mana. Masing-masing jaga rumah sendiri, toko sendiri, dan mobil sendiri sehingga dengan ringan membuang sampah keluar. Sehingga kepala lorong atau dusun pusing dengan sampah berserakan di lorong atau dusunnya. Ketika masing-masing menjaga lorong atau dusunnya sendiri, giliran geuchik, kepala desa, pusing harus bawa sampah ke mana. Begitu selanjutnya, kota/kabupaten saling menelikung agar TPA, tempat pembuangan akhir, tidak ada di wilayahnya. As long as it is not in my yard! Akhirnya sungai dan laut jadi tempat sampah raksasa. Juga tempat-tempat “umum” lainnya.

Para ahli ekonomi neo-klasik menganggap itu perilaku “rasional” manusia untuk “memaksimumkan fungsi utilitasnya”. Kerusakan lingkungan adalah “eksternalitas” yang tak bisa dihindari. Di negeri taat hukum, ekternalitas ini dipaksa regulator, biasanya bagian dari pemerintah, agar ikut ditanggung pembuatnya. Paling tidak ditanggung bersama oleh produsen dan konsumen dengan memasukkannya pada biaya produksi.

Di negeri yang hukumnya bisa dikangkangi, ekternalitas ini seringkali ditanggung masyarakat umum. Makanya fasilitas publik dan tempat-tempat umum di negeri seperti ini tidak pernah bagus. Kutukan bagi the common, tempat/fasilitas/milik umum, sungguh tak terperi. Sementara yang mampu bisa tetap hidup dalam mobil dan rumah bersih, nyaman ber-AC.

Toilet umum di terminal, stasiun, pasar, bahkan masjid biasanya jorok dan bau. Hanya ketika Pertamina mau memasukkan biaya ini dalam bisnisnya, kita bisa menikmati toilet bersih di sejumlah SPBU.  Itupun belum tentu di semua pom bensin.

Sebagai tempat umum, the common, taman dan hutan kota biasanya kumuh dan terbengkalai. Sampai pemerintah setempat memaksa swasta menyalurkan CSR untuk memeliharanya.  Biasanya dengan kompensasi pihak swasta bisa memasang logo dan namanya. Sehingga kita bertanya-tanya, itu CSR atau biaya promosi? Lagi-lagi itu masalah umum yang tak banyak orang mau memikirkannya.

Hanya segelintir “orang gila” yang peduli pada fasilitas umum. Relawan dan komunitas anak muda yang biasanya punya program bersih-bersih pantai dan sungai. Tapi “orang gila” pun akhirnya lari menyelamatkan diri karena tak mungkin menanggung beban “kutukan the common” terus-menerus?

Usaha terakhir manusia di kota-kota itu adalah usaha penuh keputusasaan. Taman kota, hutan kota, dan CFD, car free day, ternyata tak membuat kota-kota makin nyaman. Langit cerah Jakarta hanya terlihat setelah wabah covid-19 melanda!

Perlu ada sebagian kita yang berpikir tentang realitas pasca-covid-19. Taman kota, hutan kota, CFD, dan usaha sejenisnya jelas tidak cukup.

Puluhan akademisi dan intelektual Belanda menerbitkan sebuah manifesto untuk era baru pasca-covid, yang intinya mengusulkan 5 kebijakan kunci:

  1. a move away from ‘development’ focused on aggregate GDP growth (meninggalkan pembangunan yang fokus pada pertumbuhan GDP agregat);
  2. an economic framework focused on redistribution (kerangka ekonomi yang fokus pada redistribusi [kekayaan dan pendapatan]);
  3. transformation towards regenerative agriculture (transformasi menuju pertanian regeneratif);
  4. reduction of consumption and travel (pengurangan konsumsi dan perjalanan);
  5. debt cancellation (pembatalan hutang bilateral dan multilateral antar negara dan level lebih mikro)

Kelima kebijakan kunci itu sebenarnya sudah banyak ada dan masih dipraktikkan dalam masyarakat kita. Redistribusi kekayaan lewat waqaf dan ZIS misalnya.  Pertanian tradisional di banyak wilayah Indonesia juga cukup regeneratif. Pembatalan hutang dianjurkan dalam Islam, dlsb. Lima kebijakan kunci yang sangat Islami!

Tapi manifesto ini datang dari negeri Belanda. Salah satu negeri dengan peradaban cukup tua. Ya, cukup tua untuk terus belajar sehingga selalu dapat munculkan kebijaksanaan.

Ini manifesto yang mestinya dapat diikuti oleh semua kita dan para pengambil kebijakan di negeri kita masing-masing.  Saya tidak keberatan mengikuti cara Belanda yang ini. Let’s go Dutch!

Saiful Mahdi, dosen di Jurusan Statistika, FMIPA, Universitas Syiah Kuala. E-mail: [email protected]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.