Wednesday, April 24, 2024
spot_img

ESAI | Paradoks Muslim

MAJALAH Newsweek edisi 8 Oktober 2012 lalu memasang tajuk “The Muslim Paradox” (Paradoks Muslim –terj.) di halaman depan majalahnya yang juga memuat gambar depan seorang pria berparas Arab ber-keffiyeh, sedang menyulut rokok, dan tidur selonjoran di atas sebuah meja timbangan di tengah reruntuhan. Diikuti dengan subjudul “Why do they always blame the West for their weakness? (Mengapa mereka [muslim] selalu menyalahkan Barat untuk kelemahan mereka sendiri –terj.). Tajuk itu diangkat dari features berjudul “The Real Threat to Islam” (Ancaman sesungguhnya terhadap Islam –terj.). di edisi majalah itu yang ditulis oleh Husain Haqqani, duta besar Pakistan untuk Washington sejak 2008-2011 dan juga seorang guru besar di kajian hubungan internasional di Universitas Boston.

Artikel ini menjelaskan fenomena di dunia akhir-akhir ini khususnya negara mayoritas muslim dalam merespon film Innocence of Muslims dan beberapa bentuk karya lainnya yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad dan keyakinan umat Islam secara umum. Banyak muslim yang tersulut dan turun ke jalan melakukan protes, beberapa aksi kekerasan bahkan berakhir dengan hilangnya nyawa manusia menjadi tak terhindarkan. Orang Islam, sebagaimana halnya dengan umat beragama lain, tidak suka jika keyakinan/keimanannya dilecehkan. Tapi Haqqani menegaskan bahwa protes-protes yang terjadi pascapenyebaran film, karikatur, atau buku yang dianggap melecehkan umat beragama adalah fungsi dari politik, bukan agama itu sendiri. Hal ini sendiri pada dasarnya bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan secara adiluhung oleh Rasulullah yang tidak membenci orang-orang yang membenci, menyakiti, bahkan menghalanginya saat berdakwah.

Saya sependapat bahwa kebencian antarumat beragama terjadi karena fungsi politik. Hal ini secara lebih dekat dapat dilihat saat umat Islam di beberapa negara di bawah imperialisme Barat, maupun daerah di Nusantara menyerukan perang jihad melawan kaum penjajah, ataupun saat pengganyangan aktivis komunis di Indonesia. Walaupun Barat atau penjajah serta aktivis komunis jahat, tapi kita tidak dapat menghukumnya karena kebaratannya maupun kekomunisannya, tapi karena memang jelas mereka terbukti jahat. Saya teringat pesan moral yang diajarkan orang tua saya, bahwa baik buruknya seseorang tidak karena jenis agama yang dianut. Jadi kita jelas salah jika memersepsikan bahwa selain umat yang agamanya sama dengan kita, adalah buruk atau jahat dan hanya umat yang agamanya sama dengan kita yang baik semata.

Haqqani mencatat bahwa fenomena penghinaan terhadap Islam dan nabi terakhir adalah fungsi dari era politik modern. Hal ini bermula sejak peran kolonial Barat dan politisi muslim saat itu mencari isu untuk memobilisasi konstituennya. Isu islam yang bukan sekadar agama, tapi juga ideologi politik, dan menyalahkan pihak kolonial atas kemunduran yang dialami umat Islam setelah sekian lama menjadi kampiun peradaban terdahulu, menjadi pemantik yang dimanfaatkan oleh politikus. Penyokong islamofobia juga memanfaatkan kondisi ini untuk menjelekkan umat Islam sendiri yang digambarkan sebagai ancaman terhadap peradaban Barat. Akhirnya stigma umat Islam yang cenderung pemarah dan mudah untuk melakukan kekerasan menjadi familiar, terutama pascatragedi 11 September.

Protes dan pemanfaatan protes ini oleh para politisi untuk memobilisasi massa telah bermula sejak awal abad ke20. Haqqani menjelaskan bahwa para pemrotes tidak bereaksi terhadap sesuatu yang mereka telah saksikan atau baca dalam kesehariannya. Selain Satanic Verses (Ayat-ayat Setan.terj), tidak ada dari objek yang dikomplain yang secara umum dapat diakses bebas sebelum publik digerakkan ke dalam amuk massa. Kemunculan media sosial dan kecepatan komunikasi internasional telah mempermudah kampanye global, dan di negara yang mayoritas muslim, pihak Islamis cenderung berada di antara orang-orang yang paling efektif diorganisir untuk mengambil keuntungan dari teknologi untuk tujuan politik. Awalnya adalah buku Rangela Rasool (Playboy Prophet) yang diterbitkan di India (British India) pada tahun 1927. Daftar lainnya adalah buku karya pemenang Nobel Sastra, Naguib Mahfouz, berjudul Children of Gabalawi (terbit tahun 1959); buku The Turkish Art Love (terbit tahun 1933); buku Satanic Verses (terbit tahun 1989). Sayangnya, semua buku di atas yang menjadi sasaran protes malah tersedia saat ini dan meningkatkan keterkenalan penulisnya dan meningkatnya penjualan buku itu. Hal ini juga berlaku bagi beberapa video/film yang dituding melecehkan umat Islam. Jauh sebelum diekspos ke publik, video/film itu hanya segelintir saja yang melihatnya, tapi begitu beberapa umat muslim terpancing emosinya dan memprotes, video/film itu menjadi terkenal dan dinonton oleh jutaan orang di seluruh dunia. Protes terhadap buku, karikatur, maupun film yang ditujukan untuk mendiamkan penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad dengan jelas telah gagal. Bukannya menghentikan, buku dan film yang tidak disenangi itu malah meraih publisitas yang tinggi.

Haqqani menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada dalam tradisi Islam yang mewajibkan umat Islam untuk keluar ke jalanan memprotes dan melempar batu atau melakukan pembakaran setiap kali mereka mendengar seseorang menghina keyakinan mereka. Sebagaimana ajaran di kitab suci Yahudi dan Kristen, ayat suci Islam berbicara hukuman Ilahi dan juga kebaikan-Nya. Referensi terhadap perang suci diselingi dengan nasihat untuk bermurah hati, baik terhadap sesama, dan respek untuk kehidupan. Setiap bagian dari Alquran dimulai dengan kata “Dengan menyebut nama Allah, yang Mahapengasih dan Mahapenyayang,” yang menganjurkan para pemeluknya untuk mempraktikkan kasih sayang di atas hukuman.

Bagaimanapun, kelemahan saat ini di dunia muslim bukan sepenuhnya kesalahan kolonialisme Barat dan akal bulus poskolonial. Namun demikian, muslim belum menunjukkan usaha yang serius untuk memahami penyebab-penyebab dan memperbaiki kemunduran mereka setelah 300 tahun. Muslim cenderung mengatakan “Kami lemah karena kami dijajah” daripada mengakui bahwa tanah-tanah umat Islam dijajah karena umat islam telah menjadi lemah.

Penurunan, kelemahan, impotensi, dan ketidakberdayaan adalah kata-kata yang sering diulang dalam pidato dan tulisan dari pemimpin muslim hari ini. Haqqani berpesan daripada mendalangi kebencian dengan dalih bahkan provokasi yang tidak signifikan, pemimpin muslim semestinya dapat memperluas angka melek huruf, mengembangkan pendidikan, dan membuat kondisi ekonomi negaranya lebih kompetitif. Tapi hal ini tidak diambil, karena politik pemecahan selalu lebih mudah untuk diraih. “Kita melawan mereka” selalu merupakan pengalihan yang bermanfaat daripada “kita melawan masalah kita sendiri”.

Hal ini secara umum juga dapat kita amati dalam kasus berpindahnya agama seorang, aliran sesat, dan pembatasan rumah ibadah. Umat islam, secara khusus, lebih menyukai kata-kata “mualaf” dan/atau “jumlah umat muslim lebih banyak daripada umat beragama lain” dan membenci kondisi sebaliknya. Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka punca kesalahan selalu ditimpakan bagi umat beragama lain yang dituding telah berkonspirasi untuk menjelekkan Islam dan membujuk muslim untuk bersalin agama. Muslim sangat jarang mengintrospeksi diri dan memahami kondisi keislaman saat ini. Dalam hal ini Rasulullah telah jauh hari bersabda tentang kondisi muslim yang nantinya bagai buih di lautan, jumlahnya banyak tapi kekuatannya (kualitasnya) nihil. Hal ini yang semestinya diwaspadai, jumlah umat suatu agama bukanlah indikator kehebatan suatu agama, tapi kualitas umat agama itu sendiri dalam menginternalisasi ajaran dan menerapkan ajaran agamanya. Agama yang seperti kata Rasulullah, rahmat buat semesta alam.[]

RIZKI ALFI SYAHRIL, Mahasiswa Magister di Universitas Gadjah Mada

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU