Friday, April 19, 2024
spot_img

ESAI | Guru adalah Inspirator Toleransi

PARA guru adalah inspirator toleransi dalam kehidupan saya. Para guru ini terdiri dari ayah saya, guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di bangku SMA saya, relawan yang hadir di Aceh untuk membantu pemulihan Aceh pascatsunami, dan guru menulis saya. Baik secara langsung maupun tidak, saya telah mendapatkan banyak hikmah dari para guru ini.

Saat saya berumur 10 tahun dan berada di kelas empat sekolah dasar, ayah saya pernah mengajak saya ke sebuah vihara di wilayah pecinan Aceh, namanya Vihara Dharma Bakti. Vihara yang dominan warna merah dan dipenuhi banyak patung serta asap dari dupa yang dibakar awalnya mengejutkan saya karena saya tidak menemui hal itu di mesjid. Ayah mengajak saya mengobrol dengan pengelola vihara dan sang pengelola menjelaskan apa makna dan nama dari patung yang ada di situ dan cara mereka beribadah. Pengalaman saya mengunjungi vihara menjadi polemik kecil saat saya menceritakan hal ini pada teman-teman saya, bagaimanapun saya bersekolah di sekolah dasar agama-Madrasah Ibtidaiyah. Teman-teman takut saya terpengaruh dengan apa yang saya lihat dan dikhawatirkan saya akan berpindah agama, tentu saja opini itu saya lawan dan mengatakan bahwa ayah saya hanya mencoba memperkenalkan saya dengan pemeluk agama di luar agama saya, bukan untuk membuat saya murtad. Teman-teman akhirnya mengerti dan bertanya apa saja pengalaman yang saya dapatkan di sana.

Yang kedua adalah ayah memiliki toko langganan tempat dia mencetak buku dan memfotokopi bahan perkuliahan untuk mahasiswanya di kampus, yang dimiliki oleh orang etnis Cina dan juga nonmuslim. Nama tokonya Bina Jaya dan terletak di wilayah Setui. Saban saat mengambil bahannya, ayah akan mengajak saya, dan saya bisa melihat bahwa di salah satu ruangan tempat fotokopi itu ada tempat sembahyang kecil dan di depannya ada dupa yang dibakar. Pemilik toko juga sangat ramah, kami sering mendapat hadiah kalender setiap menjelang tahun baru, dan karena menjadi pelanggannya kami sering mendapatkan potongan harga. Saat itu saya mulai mencoba memahami apa makna menghargai perbedaan dalam realitas kehidupan yang beragam ini.

Ada kejadian menarik di saat saya menginjak jenjang sekolah menengah pertama. Saat itu, saya dan ayah ingin berangkat ke rumah keluarga kakek di daerah pesisir Lampuuk, jaraknya sekitar 12 km dari pusat kota Banda Aceh. Saat itu kami cuma memiliki satu kendaraan bermotor roda dua dan sedang dipakai oleh ibu saya, jadi kami terpaksa menumpang angkutan umum-biasa disebut labi-labi di Aceh karena bentuknya yang seperti sejenis kura-kura air tawar itu. Saat itu belum melintas labi-labi yang langsung menuju ke daerah tujuan, yang banyak melintas adalah rute ke Lhoknga, Lampuuk dapat dicapai sekitar 5 km lagi dari tempat pemberhentian Lhoknga itu. Jadi akhirnya diputuskan kami naik labi-labi ke Lhoknga itu. Sesampainya di sana, kami mencoba berjalan dan sesekali melihat ke arah belakang untuk memerhatikan kendaraan yang melintas dan mencoba meminta tumpangan. Beruntungnya, ada seorang pengemudi mobil yang menawarkan tumpangan pada kami hingga ke Lampuuk. Saya tidak begitu mengerti dengan kondisi mobil itu dan saya melihat mobil itu cuma diisi oleh sang pengendara dan di bagian belakang mobil penuh dengan tempat makanan. Pengemudi itu dari etnis Cina, dan saat kami sampai ke tempat yang dituju, ayah baru menjelaskan bahwa mobil yang kami tumpangi tadi membawa makanan dari bahan babi yang akan disantap oleh orang-orang Cina yang sedang piknik di pantai Lampuuk. Saya tergelak dalam hati, “Saya naik mobil yang penuh dengan babi di belakangnya.”

Hal lainnya yang pernah berkesan dengan pengajaran toleransi dari ayah adalah saat dokter keluarga kami adalah seorang Cina dan juga seorang nonmuslim, namanya Suriyadi. Sejarahnya dahulu saat saya lahir dokter itu sedang praktik koas di rumah sakit tempat saya dilahirkan. Dia sering menyambangi tempat ibu saya dirawat, dan sejak itu keluarga kami mulai ada ikatan dengannya. Jika sakit, maka pilihan pertama untuk dikontak adalah dokter itu. Saking akrabnya dengan keluarga kami, dokter itu juga sering berbalas mengunjungi kami dan sering mengunjungi pondok tempat penjualan ikan bakar yang dimiliki keluarga di Lampuuk sambil mengajak keluarganya berenang di pantai. Malangnya, dokter itu sudah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit parah yang dideritanya.

Ayah saya juga menceritakan kisah tentang toleransi saat berhaji-pada tahun 2011 lalu ayah dan ibu saya baru saja berhaji. Di sana, mereka melihat orang-orang muslim dari beragam bangsa, warna kulit, bahasa, mazhab, jabatan, larut dan khusyuk dalam spiritualitas haji. Sebagai buah tangan, ayah memberi saya potret ibu yang sedang duduk berkumpul bersama jamaah haji dari bangsa Afrika, Nigeria. Potret itu didapat dengan komunikasi yang unik awalnya, karena antara ayah dan jamaah haji itu tidak saling mengerti bahasa. Ayah hanya memakai bahasa isyarat yang menunjuk ke arah ibu saya yang ingin dipotret saat sedang duduk bersama mereka. Jadilah dua potret ibu saya bersama lima perempuan Nigeria yang berpakaian oranye dan bertuliskan Adamawa State Pilgrims Welfare Board, Nigeria.

Saya baru memahami konsepsi toleransi secara operasional saat dijelaskan oleh guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di kelas satu sekolah menengah atas. Kelas beliau adalah salah satu kelas yang paling menarik menurut saya karena kami diperbolehkan berdiskusi dan beliau memberi contoh praktis yang sangat familiar dengan kehidupan kami sebagai pelajar. Sayangnya, beliau meninggal saat gelombang raya menyapu daratan Aceh di 26 Desember 2004. Kami para anak didiknya sangat kehilangan beliau. Walaupun begitu, saya mendapatkan contoh implementasi tentang toleransi yang pernah diajarkan oleh almarhum guru saya setelah bencana itu, yaitu saat daerah saya dipenuhi oleh beragam relawan.

Wilayah pesisir barat Aceh menjadi kota hitam setelah disapu gelombang. Lumpur, mayat, kayu, bekas bangunan roboh, kendaraan, dan material lainnya bertebaran di mana-mana. Daerah-daerah itu menjadi kota mati karena tiang listrik beserta kabelnya juga terangkat. Sarana komunikasi juga terhambat. Apakah kemudian warganya menjadi individualis setelah bencana itu? Tidak. Saya melihat warga saling bahu-membahu mengangkat korban yang terluka dan mencoba mengambil barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk dibawa ke daerah tempat penampungan sementara yang luput dari bencana. Para pemilik rumah yang rumahnya selamat merelakan pekarangan dan bagian dalam rumahnya untuk para korban yang selamat ini. Mereka menyediakan air, makanan, pakaian bekas, dan obat-obatan untuk dimanfaatkan oleh para korban. Tidak ada pertanyaan tentang siapa nama kamu, apa agama kamu, dari suku apa kamu berasal. Semuanya dilayani dan diterima tanpa pengeculian.

Beberapa hari setelah itu, mulai muncul relawan yang massal baik terorganisir maupun bergerak secara sendiri-sendiri. Para relawan dari segala bangsa dan negara, warna kulit, bahasa, agama, juga datang ke Aceh dan mengumpulkan bantuan untuk Aceh. Segera saja Aceh menjadi tempat orang bersatu, bahu-membahu bekerja tanpa melihat perbedaan, tanpa mengharap pamrih, bekerja atas nama kemanusiaan. Mereka datang mengangkat mayat yang bukan dari keluarganya-beberapa mayat bahkan sudah membusuk dan nyaris sulit diidentifikasi. Semua mayat di sekitar Aceh Besar dan Banda Aceh dikumpulkan di depan kantor PMI di Lambaro, dan kemudian dimakamkan secara massal di daerah Siron. Semua mayat dimasukkan dalam kuburan massal, tanpa ada pemilahan apakah mayat itu Islam atau tidak, laki-laki-perempuan, tua-remaja, suku Aceh-Jawa, dan dasar perbedaan lainnya karena kondisinya sudah sangat sulit untuk diidentifikasi dan perlunya penguburan segera sebelum timbul dampak lainnya dikarenakan durasi dan banyaknya mayat yang belum dikuburkan. Semua mayat melebur. Jika ingin melihat keharmonian dalam perbedaan ini di masa kini, kita dapat melihatnya pada setiap peringatan tsunami di tiap tanggal 26 Desember. Para pemuka agama serta pemeluk agama yang ada di Aceh, baik Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu, akan berkumpul bersama dan menggelar doa bersama di kuburan massal ini. Para pemeluk agama larut dalam doa yang dipimpin para pemuka agamanya dan mendoakan koleganya yang telah pergi saat tsunami melanda Aceh.

Dalam proses pembangunan kembali Aceh pascatsunami, para relawan dari beragam latar perbedaan ini juga bekerja dengan penuh rasa kemanusiaan. Hal-hal yang sifatnya sensitif di mata warga Aceh sebisa mungkin diminimalisir. Sempat muncul desas-desus tentang isu adanya warga Aceh yang diselundupkan ke luar Aceh untuk diajari agama lain yang berbeda dengan yang awalnya dianut, ada isu kristenisasi berkedok bantuan, dan hal lain yang mencoba memperkeruh kondisi Aceh. Tapi isu ini tidak bertahan lama dan segara ditalangi sebelum muncul konflik yang lebih besar. Misal dahulu sempat heboh dengan rumah bantuan sebuah organisasi yang mengurusi perihal migrasi internasional yang membuat rangka rumah yang berbentuk menyerupai palang salib. Setelah ada beberapa keluhan dari warga, pihak kontraktor segera mengecat ulang bagian atasnya sehingga hanya menyerupai huruf t yang ditulis kapital. Para relawan dan donor ini juga tidak memberikan bantuan atas dasar perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak hanya menyasar satu kelompok tertentu saja. Hal ini dapat dilihat misalnya dari bantuan umat Buddha melalui organisasi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang membangun sebuah kompleks perumahan Buddha Tzu Chi di wilayah Neuheun, Aceh Besar. Walaupun bersumber dari dana umat Buddha, tapi kompleks perumahan ini tidak dikhususkan bagi pemeluk agama itu saja, banyak umat muslim yang juga mendiami rumah-rumah di kompleks itu.

Hal terakhir yang menginspirasi toleransi bagi saya adalah guru menulis saya. Seorang pemikir Islam kontemporer dan antropolog yang baru saja menyelesaikan pendidikannya dari Universitas Leiden. Dari beliau saya melihat Islam yang toleran terhadap minoritas. Beliau melakukan advokasi dan pembelaan saat kaum minoritas seperti anak punk, kaum LGBT, dan penganut mazhab di luar mazhab resmi yang berlaku di Aceh saat “ditertibkan” oleh pemerintah Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh bersama aparat kepolisian. Sebuah kutipan yang sering diucapkan oleh beliau adalah pernyataan dari M. Makmalbaaf yaitu “Kebenaran seperti bola kaca yang pecah ketika dilempar Tuhan ke bumi.

Manusia memungut pecahan-pecahan dalam bentuk yang berbeda. Menjadi berbahaya ketika pecahan kaca (kebenaran) itu digunakan untuk menusuk orang lain.” Inti dari kutipan itu adalah kebenaran itu relatif dan berbahaya kalau dipaksakan, sehingga sangat penting sikap saling menghargai perbedaan kebenaran yang diyakini. Satu hal lagi yang berkaitan dengan ajaran untuk toleran ini adalah konsep “lawan, tapi bukan musuh”. Saya tidak tahu apakah ini terkait dengan apa yang dipopulerkan oleh Levinas. Saya mendapatkan konsep “lawan, tapi bukan musuh” saat guru menulis saya menuliskan obituari untuk koleganya yang meninggal karena sakit. Sejauh yang saya tahu, koleganya awalnya bekerja di barisan gerakan yang sama, tapi kemudian dia berpindah ke lembaga rehab-rekon Aceh yang mengelola banyak proyek pembangunan Aceh pascatsunami.

Guru saya yang menjadi oposisi dan mengawal kerja rehab-rekon Aceh menyebut teman-temannya yang bekerja di lembaga itu sebagai “lawan, tapi bukan musuh”. Mereka bertentangan banyak hal tentang konsep pembangunan Aceh, misal Aceh yang dibangun dengan tidak berdasar atas landasan budaya dan sejarah, diadakannya konferensi internasional pertama (2007) yang memakai dana dari bantuan tsunami di saat banyak korban tsunami masih bertahan tinggal di barak pengungsian, dan pembangunan Museum Tsunami Aceh yang menelan dana lebih dari Rp70 miliar yang semestinya dapat dipergunakan untuk pembangunan rumah permanen bagi korban tsunami yang selamat tapi belum mendapatkan rumah bantuan misalnya di Aceh Besar dan Aceh Barat. Walaupun bertentangan secara gagasan, tapi beliau dan teman-temannya tetap menjalin silaturahmi yang baik. Mereka masih sering minum kopi bersama di Ulee Kareng. Walaupun mereka berlawanan, tapi tidak menjadi musuh. Hal ini yang saya coba pahami dan terapkan di kehidupan yang lebih luas dan beragam. Walaupun saya nantinya akan bertemu dengan orang-orang yang berbeda baik agama, suku bangsa, bahasa, warna kulit, semestinya perbedaan itu tidak menjadikan mereka musuh saya. Tapi bagaimana saya dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka.[]

RIZKI ALFI SYAHRIL, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pemilik akun twitter @rizkialfi

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU