Walikota Illiza saat berbicara di Konferensi Sendai, Senin (16/3/2015). | FOTO: Dok. Pemko Banda Aceh

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal menjadi salah seorang pembicara pada Konferensi PBB Mengenai Pengurangan Risiko Bencana di Sendai, Jepang, Senin (16/3/2015). Tampil sebagai salah seorang panelis di konferensi itu, Illiza berbagi cerita pengalaman menangani bencana tsunami di Aceh.

Selain Illiza, panelis yang lain yaitu Maitree Jongkraijug (ketua LSM Bann Nam Khem Thailand), Cheryl Padullo (ketua Komunitas DAMPA Filipina), Maung Maung Myint (UN-HABITAT Myanmar), Atsu Shibata (ketua masyarakat Kota Kamaichi Jepang), Shigetoshi Miyawaki (ketua masyarakat Kota Saeki Jepang), dan Alfred S Romualdez (Walikota Tacloban Filipina).

Pada konferensi bertajuk “Resilient Communities: Our Home, Our Community, Our Recovery” yang juga dihadiri Wakil Presiden RI Jusuf Kalla itu, Illiza tampil pertama menyampaikan presentasinya.

Mengawali presentasinya, Illiza memaparkan tiga fase penanggulangan berdasarkan pengalaman Kota Banda Aceh menghadapai bencana gempa dan tsunami 2004 lalu. Pertama, fase tanggap darurat dan rehabilitasi. “Fase ini lebih difokuskan pada pencarian, penyelamatan dan pengobatan korban dengan melibatkan lembaga nasional dan pemerintah daerah,” katanya.

Kedua, fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang difokuskan pada pemulihan, termasuk pembangunan kembali infrastruktur, pemukiman dan sebagainya. “Tahapan ini melibatkan LSM, masyarakat internasional, BRR dan pemerintah daerah.”

Ketiga, fase pembangunan berkelanjutan yang difokuskan pada pemulihan. Fase ini, kata Illiza, tergantung pada pemerintah daerah dengan mengimplementasikan strategi pembangunan baru seperti strategi kota hijau, strategi mitigasi bencana dan lain-lain.

Menurut Illiza, ada dua strategi yang diterapkan oleh Pemko Banda Aceh dalam pembangunan kota pasca tsunami, yakni dari aspek fisik dan non fisik. “Dalam aspek fisik, kami terapkan melalui sistem peringatan dini, peta administrasi, peta spasial dan peta mitigasi yang menunjukkan daerah yang rentan, peta perencanaan tata ruang, escape road dan escape building.”

Aspek non fisik, kata wali kota, juga memainkan peranan penting. Salah satu kunci yang mempercepat proses pemulihan paska bencana tahun 2004 adalah kearifan lokal aceh. “Masyarakat Aceh dikenal sebagai orang-orang memegang teguh ajaran agama dan ada keyakinan bahwa bencana adalah ujian dari Allah SWT agar kita bisa menjadi lebih baik di masa mendatang.”

Hal lainnya, Banda Aceh telah mengembangkan kemitraan dalam pengurangan resiko bencana dengan beberapa institusi pendidikan, lembaga penelitian, kota dan organisasi internasional, seperti LIPI, Universitas setempat, JICA, Kota Higashi Matsushima, UCLG, CDIA dan Citynet.

Masih menurut Illiza, rekonstruksi dan rehabilitasi telah meningkatkan pembangunan ekonomi di Banda Aceh secara tidak langsung. “Saat ini, PDB per kapita atas dasar harga konstan menjadi dua kali lebih tinggi dibandingkan sebelum tsunami. Sedangkan PDB per kapita berdasarkan harga pasar meningkat menjadi lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum tsunami,” katanya.

Muhammad Ridha, kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Sosial Bappeda Kota Banda Aceh yang ikut mendampingi wali kota di ajang tersebut menambahkan, pada sesi tanya jawab, para peserta seminar sangat antusias dalam mengajukan pertanyaan untuk wali kota mengenai mitigasi bencana.

Kata Ridha, salah satu pertanyaan yang diajukan peserta adalah mengenai sisa-sisa bangunan atau aset pasca tsunami. “Di Tohoku, Jepang, mereka membuang semua sisa tsunami tapi di Banda Aceh kita memelihara beberapa situs tsunami.”

Peninggalan tsunami, sambungnya, berfungsi sebagai salah satu tanda pengingat kebesaran Allah. Di isisi lain merupakan tempat edukasi dan rememmorial musibah tsunami.

“Tujuan akhirnya, masyarakat mempunyai pengetahuan dan kemampuan dasar dalam mitigasi bencana, sehingga akan mengurangi dampak dan kerugian yang lebih besar di masa depan.”

Menurut Ridha, infrastruktur dan fasilitas publik serta perumahan di sana dibangun baru sehingga menampilkan kota yang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
“Walikota Banda Aceh kurang setuju dengan hal itu, karena menurutnya pengalaman adalah guru terbaik yang harus diturunkan kepada generasi penerus sebagai pelajaran di masa yang akan datang agar lebih siap dalam menghadapi bencana,” katanya.

Pada hari yang sama, Illiza bertemu mantan Wakil Walikota Apeldoorn, Belanda, Rot Metz, yang sekarang menjabat sebagai Walikota Soest. “Mereka mendiskusikan mengenai rencana kerjasama sister city antara ke dua kota dalam hal manajemen kebencanaan,” pungkas Ridha. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.