Yanti Oktiva

Kain putih barambu kuning
Kain tersampang pada galah
Ambil selesai dipertendengkan
Lamong dimintai pado Allah

Pantun itu dibacakan Sahibuddin sembari memainkan canang, alat musik tradisional Singkil yang terbuat dari empat batang kayu sehasta orang dewasa, bersama dua temannya. Sambil berselonjor di lantai, seniman tradisional Singkil itu menokok canang yang dipangku di atas kakinya. Empat balok yang menjadi canang itu menghasilkan nada yang berbeda-beda. Nada yang dihasilkan antara canang Sahibuddin dan kedua temannya berbeda-beda. Jadilah, tabuhan canang mereka siang itu bertalu-talu, saling bersahutan.

Sahibuddin, Rahibun, dan Bangun HS merupakan generasi tua yang masih memainkan canang kayu. Kini, canang sudah berganti material. Kebanyakan canang yang beredar di Aceh Singkil rata-rata terbuat dari tembaga. Tentu, kata Sahibuddin, suara yang dihasilkan antara dua model canang ini berbeda-beda. Meski begitu, tak banyak lagi orang tertarik untuk menekuni alat musik tradisional khas Singkil tersebut.

“Canang model kayu ini lebih dahulu dikenal masyarakat Singkil dari pada jenis canang yang terbuat dari tembaga,” ujar Sahibuddin. “Tapi kami masih mamakai yang kayu ini.”

Canang terbuat dari kayu pilihan. Ia berasal dari pohon cuping atau kayu tarok –yang dalam bahasa Singkil dinamakan kayu trep. Sementara alat pemukulnya dibuat dari kayu yang lebih keras seperti batang jambu. Memainkan canang dilakukan dengan cara menokok empat balok secara bergantian, sehingga menghasilkan suara kayu yang saling beradu menjadi merdu. Irama canang menjadi lebih merdu karena juga diiringi tabuhan gendang dan talam. Walhasil, suara pukulan balok, talam, dan gendang menghasilkan irama musik yang unik dan enak didengar di telinga.

Sahibuddin dan rekannya masih terus melestarikan keberadaan alat musik tradisional canang. Makanya, ia mendirikan Kelompok Adat Aceh Singkil, yang kini telah beranggotakan lebih 30 orang pemain canang. Kelompok ini juga memiliki penari gadis belia, yang siap menari sambil diiringi suara canang bertalu-talu.

Kelompok Adat Aceh Singkil acap tampil pada pesta perkawinan, khitanan, dan upacara adat. Dari situ mereka memperoleh bayaran bervariasi, antara Rp700 ribu hingga Rp1 juta.

“Alat tradisional ini dikenal di kalangan Suku Didi. Namun Suku Didi mengakui canang sudah hampir punah,” kata Rahibun, pemain canang berusia 55 tahun. “Tak banyak lagi yang mau belajar memainkan canang.”

Sahibuddin dan Rahibun juga mengaku mereka kesulitan dalam merekrut para pemuda untuk belajar bermain canang. “Anak-anak muda tidak tertarik,” ujar Rahibun.

Padahal, menurut Sahibuddin, canang tak hanya berfungsi sebagai alat musik yang menghibur.  “Meletakkan canang di atas kaki dapat menyembuhkan rematik,” kata dia. “Kaki kita seperti diurut atau dikusuk.” []

YANTI OKTIVA [@nyak_ti]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.