BIREUEN | ACEHKITA.COM – Calon Jamaah haji yang meninggal dunia atau sakit permanen sebelum keberangkatan, dapat digantikan oleh anggota keluarga lainnya. Prosesnya, harus melengkapi sejumlah persyaratan yang telah ditentukan, seperti surat permohonan, akte kematian dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan bukti asli setoran awal BPIH.
Kantor Kementerian Agama Bireuen melalui seksi penyelenggaraan haji dan umrah, menggelar sosialisasi regulasi pendaftaran, pembatalan dan pelimpahan porsi haji, kepada penyuluh agama Islam non PNS di Kecamatan Makmur, Bireuen, Kamis (3/12/2020).
Kepala Kankemenag Bireuen, Drs H Zulkifli Idris MPd melalui Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Drs H Mukhlis, mengharapkan peran para penyuluh sebagai ujung tombak Kemenag di pedesaan, agar dapat mensosialisasikan regulasi tersebut kepada masyarakat.
Mukhlis menjelaskan, digelarnya kegiatan ini guna mensosialisasikan keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 130 tahun 2020 tentang petunjuk pelaksanaan pelimpahan nomor porsi jamaah haji meninggal dunia atau sakit permanen.
“Jamaah haji yang dalam waktu tunggu keberangkatan, kemudian meninggal dunia terhitung sejak 29 April 2019, dapat digantikan oleh anggota keluarga lain yaitu orang tua kandung baik ayah dan ibu, suami-istri, anak kandung dan saudara kandun, yang dibuktikan data otentik tentang kependudukan. Begitu juga jamaah haji yang sakit permanen, harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter pemerintah.”
Saat ini untuk pelimpahan nomor porsi haji Bireuen yang telah diajukan kepada pihaknya untuk diproses sudah 40 lebih, namun baru delapan yang sudah diproses dan diakui Kementerian Agama.
Sementara pada 2020, akibat dampak pandemi Covid-19, ada 283 calon jamaah haji Bireuen yang belum diberangkatkan. Namun mereka akan diprioritaskan untuk diberangkatkan pada tahun 2021 mendatang, jika pemerintah Arab Saudi telah memberikan lampu hijau.
Ketentuan ini berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Haji dan Umrah yang petunjuk teknisnya tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 130 Tahun 2020, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelimpahan Nomor Porsi Jamaah Haji Meninggal Dunia atau Sakit.
Undang-Undang yang disahkan pada 26 April 2019 tersebut, terdapat sejumlah perbedaan yang antara substansi pokok dalam undang-undang ini dengan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebelumnya, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2008.
Berikut beberapa perbedaan pokok antara kedua Undang-Undang tersebut.
- Bipih dan BPIH. Sebelumnya hanya dikenal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Kini, dalam UU PIHU dikenal istilah BPIH serta Bipih atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang berarti sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang menunaikan ibadah haji.
- Pelimpahan Porsi. Jemaah haji yang meninggal setelah diumumkan berhak melunasi BPIH untuk dapat dilimpahkan nomor porsinya kepada salah satu anggota keluarga (suami, istri, anak, atau menantu). Regulasi yang diatur dalam PIHU pelimpahan nomor porsi dapat dilakukan kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung. Bahkan pelimpahan nomor porsi bukan hanya bagi jemaah yang wafat dan telah ditetapkan sebagai jemaah berhak lunas, kapan pun jemaah wafat nomor porsinya dapat dilimpahkan kepada keluarganya.
- Kuota. Pembagian kuota haji reguler dan haji khusus sebelumnya tidak diatur secara khusus persentasenya. Melalui UU PIHU persentase jemaah haji khusus secara nyata tegas disebutkan sebesar 8% dari kuota haji nasional. Serta terdapat mandat agar Menteri Agama memberikan prioritas kuota bagi jemaah haji lanjut usia dengan batasan usia paling rendah 65 tahun.
- Amirul hajj. Ketentuan mengenai amirul hajj juga diatur dalam UU PIHU. Menteri Agama bertindak sebagai Amirul Hajj memimpin misi haji Indonesia. []