NH/ACEHKITA.COM

KUALA CANGKOI | ACEHKITA.COM – Rabya Khatun, 25 tahun, menggendong putri bungsunya Rainang Bibi, 4 tahun, saat menyusuri jalan setapak pada suatu malam, akhir Februari lalu. Tangan putranya Lalu, 6 tahun, dipegangnya erat-erat, sambil terus berjalan di bawah bayang-bayang ketakutan.

Rabya meninggalkan sebuah desa kecil di pelosok distrik Akyab, kawasan Rakhine atau Arakan di Myanmar, bersama dua anaknya yang lain Nuru Johar, 16 tahun dan Rokeya Begum, 8 tahun. Juga ikut bersama mereka, adik kandungnya, Muhammad Ismail, 17 tahun.

Malam itu, mereka memutuskan pergi ke desa nelayan. Keluarga miskin ini harus berjalan dua jam. Jika di kejauhan dilihat ada orang melintas, mereka bersembunyi. Setelah merasa aman, perjalanan dilanjutkan.

Tak banyak bekal dibawa. Hanya beberapa lembar pakaian, sumbangan dari negara donor yang membangun kamp pengungsian di desanya, dalam kantong plastik lusuh.

“Kami tak punya uang saat pergi,” kata Rabya saat diwawancara acehkita.com di tempat penampungan sementara di Lhoksukon, Aceh Utara, empat hari setelah boat yang membawa mereka bersama hampir 600 imigran Rohingya Myanmar dan Bangladesh terdampar di perairan Aceh, Minggu lalu.

Rabya menceritakan kisah hidupnya. Tiga tahun sebelum meninggalkan desa, suaminya Muhammad Rasyid tewas ditembak polisi Myanmar saat milisi Mog dibantu pasukan keamanan pemerintah menyerbu desa yang dihuni warga Muslim.

Suatu hari tiga tahun lalu, milisi Mog yang beragama Budha bersenjatakan parang, pedang dan senjata tajam lain dibantu pasukan pemerintah menyerang desa-desa yang dihuni Muslim Rohingya. Puluhan rumah warga Muslim musnah dibakar di desanya.

Rasyid bersama kaum pria desa berusaha memadamkan api yang menghanguskan rumah warga, sambil menyelamatkan anak-anak dan perempuan yang ketakutan.

“Rumah kami terletak di tengah desa. Suami saya pergi ke ujung desa saat milisi Mog mulai membakar rumah warga. Saat sedang memadam api, ia ditembak oleh polisi,” katanya, dengan mata berkaca-kaca berusaha menahan kesedihan.

Seorang bibinya, Hazara Khatun, tewas dibantai. Rabya, Ismail dan keempat anaknya lari ke desa tetangga. Mereka selamat bersama kaum perempuan dan anak-anak desa. Belasan warga desanya tewas dalam serangan itu. Tak kurang dari 30 rumah rata tanah dibakar di desanya.

“Selama hampir enam bulan kami tidak berani kembali ke desa. Saya tidak tahu siapa yang menguburkan orang-orang dibunuh Mog dan pasukan keamanan,” kata Ismail.

Ketika kondisi keamanan sudah mulai kondusif, sejumlah negara Islam membantu Pemerintah Myanmar untuk membangun tenda penampungan di desanya. Keluarga Rabya akhirnya pulang ke desa. Mereka tinggal di tempat penampungan sementara itu, tapi mereka tetap berada dalam ketakutan mendalam.

Rabya yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga tak bekerja apapun selama hidup di kamp pengungsian. “Kami dilarang kerja. Kami hanya mendapat makanan sedikit dari bantuan negara donor yang disalurkan Pemerintah Myanmar,” katanya, seraya menambahkan suaminya sebelum tewas ditembak, bekerja sebagai nelayan.

“Kami dilarang bekerja di tenda. Kami hanya diperbolehkan keluar dari tenda hanya berjarak 10 meter. Jika kami pergi agak jauh, segera dihalau oleh polisi,” ujar Ismail.

 

Naik boat

Memasuki tahun 2015, bantuan makanan semakin sedikit. Beberapa warga di tenda pengungsian memilih pergi diam-diam pada malam hari. Tiga bulan lalu, Rabya pergi setelah berembuk dengan adiknya.

Ismail mengaku tidak sekolah karena dilarang pemerintah. Dia dan anak-anak Rabya hanya belajar Al-Quran secara diam-diam di madrasah di kamp pengungsian yang memiliki sekitar 200 tenda.

“Di desa kami tidak boleh azan dari pengeras suara,” tutur Ismail.

Setelah tiba di desa dekat pantai, dia bergabung dengan warga lain. Mereka dibawa naik sebuah boat kecil ke laut. Di tengah laut, sudah menunggu satu boat yang di dalamnya ada 100 orang. Setelah menunggu dua bulan, orang-orang dibawa dengan boat kecil semakin bertambah hingga mencapai 300 orang.

“Kami tak membayar karena kami tidak punya uang sama sekali. Meski kami sempat dimarahi karena tak punya uang, tapi kami diizinkan ikut berlayar,” kata Ismail.

Dalam boat, makanan diberikan tiga hari sekali. Minuman juga dijatah sangat sedikit. Mereka dijejer duduk berdempetan.

Selama dua bulan, kapten dan tujuh orang anak buah kapal sering menyiksa imigran yang hendak dibawa ke Malaysia. Orang-orang dalam boat terus bertambah yang dipasok dengan boat-boat kecil.

“Saya dan adik saya sering dipukul pakai rotan, wire. Kami juga sering ditendang dan ditinju kalau coba menjulurkan kaki atau merebahkan badan,” kata Rabya. “Tetapi, anak-anak saya tidak pernah dipukul.”

Tiada hari tanpa penyiksaan dialami imigran. Dari pembicaraan imigran diketahui kalau para penyeludup itu berasal dari Thailand. Mereka bersenjata pistol dan laras panjang. Ada juga senjata tajam lainnya.

Sepekan sebelum terdampar di perairan Aceh, boat yang membawa hampir 600 orang berlayar. Kepada para imigran, kapten kapal menyebutkan mereka akan dibawa ke Malaysia untuk diperkerjakan di perkebunan.

“Saya sangat senang mendengar kami akan dibawa ke Malaysia karena di negara itu ada abang kandung saya dan ibu saya. Saya terus berdoa semoga dapat bertemu lagi dengan ibu dan abang saya,” kata Rabya.

Disebutkan, ibu dan abang kandungnya sudah tinggal di Malaysia selama 10 tahun. Abangnya, Abdu Sobe, 30, bekerja sebagai buruh di perkebunan karet. Ibunya Anwar Begham, 80, tinggal di rumah Abdu.

“Tiga bulan lalu, saya sempat berbicara dengan ibu saya melalui telepon yang ada di kamp pengungsian. Tapi saat itu saya belum berencana pergi dari kamp. Jadi mereka tak tahu saya akan pergi ke Malaysia,” kata Rabya.

Sehari sebelum terdampar ke perairan Aceh, kapten bersama anak buah kapal pergi setelah dijemput sebuah speedboat. Mereka membawa alat komunikasi kapal. Boat terapung-apung di Selat Malaka satu hari sampai akhirnya terdampar di pantai Seuneudon, Aceh Utara, Ahad (10/5/2015).

“Kami tidak tahu bagaimana masa depan kami. Kami hanya bisa berdoa kepada Allah untuk memberikan jalan terbaik bagi kami,” kata Ismail, dengan tatapan hampa.

“Allah belum mengizinkan kami ke Malaysia. Allah belum memberikan kesempatan kepada kami untuk bertemu dengan ibu dan abang saya.”

Rabya mengaku tak mau pulang ke desanya karena pemerintah tak mengaku Muslim Rohingya sebagai warga negaranya.

“Daripada kami disuruh pulang ke Myanmar, lebih baik kami dibunuh saja di sini oleh orang Islam,” katanya.[]

NH

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.