Saturday, April 20, 2024
spot_img

Berlomba Menuju Kehancuran (2)

“Para agamawan sibuk berebut pengaruh. Perseteruan dan bentrok massa terjadi hingga ke dalam masjid. Rebutan mimbar…. Pemerintah pun tak jelas sikapnya. Para politisi justru mengambil manfaat dari perseteruan internal umat Islam itu. Rakyat kebingungan…. Mereka melihat ke Kampus Darussalam. Berharap dapat kearifan seperti di masa silam. Tapi di sana juga terjadi saling koyak dalam perebutan kekuasaan. Setelah insiden ‘tumbangnya pohon besar’ di salah satu kampus, di jantung kiri Darussalam, rakyat masih berharap pada jantung kanan. Tapi setelah kriminalisasi dan pembungkaman terhadap Anda, ternyata masalah di jantung kanan tidak kalah besarnya. Kemana lagi kita bisa berharap di negeri ini? Kemana rakyat bisa mengadu?”

Seorang profesor senior, ulama dan tokoh masyarakat Aceh, memulai percakapan kami berdua dalam pertemuan tidak sengaja, jelang akhir tahun lalu, di salah satu lounge maskapai terkemuka di Jakarta. Saya terkesima. Seorang yang begitu tenang dan dicintai karena ilmu dan kearifannya, ternyata punya kegundahan yang begitu menggelegak. Kegundahan yang sama dengan Saya. Mungkin juga dengan banyak pembaca.

“Saya mengikuti kasus Anda secara seksama. Anda harus kuat. Kasus Anda adalah benteng terakhir Darussalam!” ujarnya lagi. Ucapan sang ulama ini tentu saja telah menjadi sumber energi yang luar biasa sejak itu. Bertambah yakin, perjuangan untuk kebenaran dan keadilan harus terus diupayakan.

Corona membuka semuanya

Kemudian wabah corona menyeruak. Kapasitas kepemimpinan makin mendapat ujian. Politisi dan politisi wannabe makin terlihat belangnya. Alih-alih menjadi panggilan untuk pengabdian sejati sesuai tupoksi, atau menjadi ajang solidaritas bahkan pengorbanan demi kemanusiaan, wabah Covid-19 hanya jadi panggung politik bagi sebagian. Iapun membongkar segala kelemahan dan kebobrokan.

Mirip dengan drama di atas panggung politik-covid di Jawa Timur antara gubernur, RSUD, sebuah PTN, dan seorang walikota, di Aceh ada “lomba” siapa paling serius menangani wabah antara gubernur dengan RSUD-nya dan seorang pimpinan PTN dengan salah satu laboratoriumnya. Bedanya, kalau di Surabaya yang muncul institusi PTN, di Aceh yang terjadi personifikasi institusi oleh seorang penguasa kampus yang walaupun sudah membentuk Satgas Covid-19 tapi selalu tampil dalam setiap pemberitaan oleh media. Tanya kenapa?

Perlombaan yang kalau niatnya benar sejak awal sebenarnya akan baik dan menguntungkan warga. Tapi sepertinya itu bukan fastabiqul khairat, lomba berbuat baik dan terbaik. Buktinya dia tak bertahan lama. Ditinggalkan saat kalkulasi politik menyatakan tak ada untungnya.

Pertama ada “lomba” siap laboratorium untuk swab test, lomba klaim paling perhatian pada keselamatan rakyat, dst. Lobi-lobi dimainkan agar lab segera siap beroperasi. Saling salip! Saat sebuah lab kementrian kesehatan siap melakukan uji swab, pemerintah Aceh sigap meresmikannya. Sementara lab di sebuah kampus terus dikebut persiapannya.

Setelah itu lomba siap layanan tes PCR dan swab. Tapi reagen tak mudah diperoleh. Ketika reagen, elemen wajib untuk uji swab ini, diperoleh, sempat ada lomba ngasih harga mahal dengan alasan tes mandiri. Dengan reagen langka sehingga susah didapat.

Saat reagen melimpah, terjadi lomba lebih murah, sampai tes gratis. Masing-masing menawarkan tes massal. Ternyata sebagian reagen didrop BNPB/Satgas Covid-19 Pusat? Selanjutnya, lomba siapa yang siap buat banyak tes. Kalau sana bilang perlu, sini bilang buang anggaran. Berikutnya lomba “new normal” di mana yang satu nantang lainnya: “Apa situ sudah siap?”

Ketika belakangan jumlah kasus positif covid di Aceh makin tinggi, saling lepas tangan pun terjadi. Dan itu semua terbaca di media, terlihat di televisi. Seperti yang dicatat Dr Otto Syamsuddin Ishak, seorang sosiolog dari sebuah webinar:

“Para pihak tidak bisa beranjak dari satu sudut pandang yang berdekatan. Dari pihak akademi, kira-kira mengatakan: kami punya ahlinya, cukup perlengkapan penunjangnya, tapi tidak mendapatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Daerah…. Dari pihak legislatif mengatakan, setelah refokusing anggaran, pihak eksekutif tidak transparan di dalam redistribusi penggunaannya. Dari pihak rumah sakit mengatakan kesulitannya, karena kultur yang susah diatur.”

Otto pun berkesimpulan: “Secara keseluruhan terkesan, betapa sulitnya berkoordinasi secara vertikal maupun horizontal di Aceh. Secara sosiologis, orang-orang cenderung bersikukuh pada statusnya, dan tidak berorientasi pada peran yang dapat disumbangkan untuk kemaslahatan.”

Belang kepentingan politis pun terbuka dengan sendirinya. Masing-masing memainkan jurus lewat media yang dapat dipengaruhinya. Sebagian kita memuji sebuah tindakan yang terlihat begitu mulia dan berani. Tapi kecewa setelah melihat hasilnya yang serba tanggung alias setengah-setengah. Apalagi saat terbuka semua itu ternyata sandiwara saja di atas panggung politik. Bukti makin hilangnya kearifan dalam politik kita.

Padahal dana refocusing Aceh untuk penanganan wabah konon kelima terbesar di Indonesia. Di atasnya hanya ada provinsi di Jawa dengan penduduk puluhan juta. Padahal wabah ini menyangkut hidup dan mati kita.

Seakan tak cukup ancaman maut dari makhluk renik bernama corona itu, kita kemudian disuguhkan episode drama lanjutan yang tak kalah absurdnya. Ada episode “tembok gaza” di Darussalam. Terus episode “tur moge” dalam rangka peringatan damai. Sepi dari pemberitaan setelah saling sandra dalam episode “alat kelengkapan dewan”, DPR Aceh tetap belum sepenuhnya berhasil menyuarakan dan memastikan kepentingan rakyat Aceh yang diwakilinya.

Interpelasi: Akhir kegamangan kita?

Setelah ada gelombang tuntutan dari warga dan mahasiswa, sempat muncul dari kelompok yang berbeda, akhirnya Aceh memasuki episode baru: interpelasi terhadap Plt. Gubernur.

Sampai di sini pun kita masih ragu. Mana yang betul-betul serius dan ikhlas memperjuangkan kepentingan kita. Bahkan kelompok mahasiswa saja pun kini tidak semua seperti terlihat adanya. Para aktivis yang sekarang jadi politisi di eksekutif maupun legislatif masih bisa memainkannya. Kita rindu gerakan mahasiswa yang murni. Tidak hanya bergerak karena suruhan “murabbi” atau “kakak pembina”.

Tetap saja rakyat banyak galau bahkan bingung. Belum yakin juga mana yang benar. Tidak tahu pula harus bersikap. Sebagian yang sudah apatis sebelumnya, makin apatis. Sebagian melanjutkan ketidakperduliannya. “Toh, nasib kita Rakyat ya begini-gini saja…,” tuturan akhir tanda pasrah. Ya, kebanyakan kita akhirnya hanya bisa pasrah. Apalagi di tengah wabah corona.

Kebingungan dan kegamangan ini pasti ada akar masalahnya. Kebanyakan para penguasa di jajaran elit Aceh, di dayah, di kampus, di pemerintahan, sedang dan telah kehilangan legitimasinya. Terutama legitimasi etik dan moralnya. Karena itu kita jadi ragu-ragu, mana yang benar di antara klaim, dus di antara penguasa yang tak kunjung berdamai, bersinergi, berkoordinasi, dan berkolaborasi untuk kita itu.

Kita tak tahu harus mengadu atau berkeluh-kesah ke siapa. Karena mereka terlihat makin tidak mulia. Bahkan tidak mulia di kebanyakan mata rakyat biasa. Institusi teungku hanya mulia pada sebagian pengikutnya karena yang lain telah jadi korban sodomi, kekerasan seksual, dan penghisapan ekonomi. Ulama satu golongan hanya mulia bagi jamaah yang percaya dengan jalan pikiran dan kitab yang diyakininya, tapi bisa jadi musuh yang dicerca jamaah lainnya.

Penguasa kampus bahkan tak terkesan mulia di mata para pengikut dan penjilatnya. Buktinya tak ada yang berani membela junjungannya secara terbuka, dari kritik orang-orang yang dianggap bersebrangannya. Ketika sejumlah orang kampus sebelah menyalahkan rektor kampus sebelahnya karena “urusan tembok”, masing-masing warga kampus tak ada yang secara bulat berdiri di belakang masing-masing penguasa kampusnya. Mereka semua bimbang. Apa yang sebenarnya terjadi? Klaim mana yang benar? Bahkan tidak setelah selembar sertifikat ditunjukkan. Alih-alih menghentikan pertikaian, sertifikat itu justru kini jadi punca permasalahan.

Para pekerja migran Aceh yang terperangkap di Malaysia mengadu pada eksekutif di pemerintahan Aceh. Pernah ada angin sorga akan dibantu, tapi hingga kini belum menentu. Mengadu ke legislatif sama saja. Sepertinya masing-masing penuh kalkulasi. Padahal ini urusan kemanusiaan! Tidak malukah kita dengan para nelayan Aceh yang mendaratkan manusia perahu Rohingya di tengah keterbatasan mereka?

Kenapa kita seolah terus memilih “berlomba menuju kehancuran”? (Bersambung)

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU