Friday, April 19, 2024
spot_img

OPINI | Berebut Kuasa di Aceh

SILANG-SENGKARUT jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh masih terus berlangsung. Setelah jilid pertama di tahun 2006-2007 berakhir relatif damai, kini sebagian publik menanti bagaimana ujung dari proses perebutan kekuasan jilid kedua di Aceh nantinya.

Kerumitan Pilkada Aceh berawal di tingkat provinsi pada saat pelaksanaan sidang paripurna DPR Aceh (DPRA) untuk mengesahkan Qanun Pilkada Aceh. Partai Aceh (PA) bersama PAN, PKPI, PKB, Patriot, PBB dan Partai Daulat Aceh (PDA) menentang klausul pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan (calon independen) untuk dimasukkan ke dalam Qanun tersebut. Sementara parpol lainnya, Demokrat, Golkar, PPP, PKS, lebih memilih tidak bersikap atas klausul itu.

Padahal jauh sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya atas Pengujian UU Pemerintahan Aceh No. 11/2006 terhadap UUD 1945 telah menjamin keberadaan jalur perseorangan tersebut. Di saat bersamaan, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang ingin mencalonkan diri kembali sebagai gubernur dari jalur perseorangan untuk kedua kalinya, meminta kubu penentang mematuhi keputusan MK tersebut.

Persoalan semakin bertambah kompleks ketika kubu penentang ditambah sebagian besar parpol nasional dan lokal yang ada Aceh meminta penundaan pelaksanaan Pilkada. Alasannya, telah terjadi konflik regulasi, terutama terkait soal calon independen, sehingga berpotensi mengancam perdamaian Aceh jika agenda politik berkala ini tetap dilangsungkan.

Pusat—yang diwakili Dirjen Otda Kemendagri dan Asisten Deputi I Kemenkopolhukam—menunjukkan respons positif untuk memimpin penyelesaian perselisihan ini. Artinya, secara sadar bola panas tersebut diambil alih oleh Pusat, tidak dibiarkan di Aceh. Pertanyaannya kemudian, mampukah Pusat mendamaikan para pihak di Aceh yang tengah berselisih pendapat dalam pertemuan yang diagendakan akan dimulai hari ini (3 Agustus) di Jakarta?

Pahami Konteks
Memahami konteks politik Aceh akan membantu Pusat untuk memecah kebuntuan yang sedang terjadi, setidaknya membantu mengidentifikasi siapa saja para pihak yang memang perlu dilibatkan dalam dialog nanti. Karena itu menjadi penting untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berperan dalam polemik Pilkada Aceh.

Pertama, kuat dugaan sikap PA yang menolak calon independen terkait dengan konflik internal di tubuh partai itu. Di satu sisi, sebagai partai transformatif dari eks-Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tentu saja menginginkan calon kepala daerah cuma diusulkan dari jalur partai sehingga sedapat mungkin meminimalisir kader dan simpatisannya mencalonkan diri melalui jalur independen.

Dugaan ini cukup beralasan karena kalkulasi politik sepertinya akan merugikan PA. Apabila semakin banyak kader dan simpatisan PA menggunakan atau mendukung calon independen, maka peluang memenangkan kompetisi Pilkada juga semakin berkurang karena mesin politiknya tidak lagi bekerja maksimal.

Pada gilirannya, soliditas partai pun bisa merapuh. Hanya saja, di sisi lain, PA seolah lupa bahwa kekuasan itu adalah candu. Sejumlah kepala daerah termasuk Gubernur Irwandi yang memiliki afiliasi dengan eks-GAM tentu tetap ingin berkuasa sejauh peluang itu ada, meskipun tidak mendapat dukungan dari PA.

Kedua, parpol-parpol di Aceh dipandang tidak terlalu siap berkompetisi dengan calon independen. Kondisi ini sangat dirasakan pada tingkat provinsi. Parpol-parpol di DPRA secara kualitas dinilai oleh sebagian publik tidak lebih baik dari Gubernur Irwandi. Contoh kecil bisa dilihat dari molornya proses pengesahan anggaran dalam dua tahun belakangan ini yang ditengarai karena besarnya kewenangan yang dimiliki pihak legislatif selama proses pembahasan.

Boleh jadi, kemerosotan citra parpol-parpol tersebut mencapai puncaknya ketika mereka menolak keputusan MK. Sebagian publik Aceh diyakini menaruh catatan negatif atas tingkat pemahaman parpol-parpol tersebut terhadap tatanan konstitusi negara Indonesia. Sementara Irwandi saat ini dinilai lebih populis dengan sejumlah program-program pro-rakyat yang dikembangkannya, dan sekarang secara tidak sengaja terposisikan sebagai pihak yang “teraniaya” akibat sikap politik parpol yang menentang keberadaan calon independen.

Ketiga, dari dua faktor di atas, terpetakan secara jelas bahwa ini merupakan konflik elite dalam merebut kekuasan. Bila dibandingkan antara tingkat kemiskinan Aceh setahun lalu yang mencapai 20,98 persen (tingkat kemiskinan nasional 13,13 persen) dengan kegigihan para elite dalam merebut kekuasaan, situasi ini semakin menegaskan bahwa mereka tidak lebih dari makhluk-makhluk politik yang baru sekedar mencari kekuasaan sebagai sebuah tujuan, bukan alat untuk mengantarkan rakyat ke tingkat kualitas kehidupan yang lebih baik.

Prinsip dalam Dialog
Tidak bisa diingkari bahwa nuansa persaingan politik seolah memberi latar yang cukup kuat atas konflik Pilkada Aceh. Namun kalau dicermati kembali, hulu dari semua kebuntuan ini adalah ketidakmauan salah satu pihak untuk menerima keputusan MK yang mengizinkan calon independen berkompetisi dalam Pilkada di Aceh. Di sini Pusat sebagai pihak yang memimpin sekaligus memfasilitasi dialog, perlu berhati-hati agar tidak terjebak untuk menyelesaikan konflik ini dengan pendekatan politik yang biasanya menyisakan persoalan baru dan mengabaikan penegakan hukum.

Karena itu, ada dua langkah yang perlu diambil oleh Pusat dalam proses dialog nanti. Pertama, melibatkan MK secara langsung dalam forum dialog nanti. Sejauh ini belum terlihat ada indikasi kuat dari perwakilan pemerintah pusat untuk menghadirkan lembaga ini. Selama ini penjelasan MK atas keputusannya lebih banyak diketahui melalui media massa yang barangkali tidak cukup meyakinkan bagi kubu yang kontra atas calon independen. Namun, penjelasan langsung MK dalam forum tersebut bisa menjadi media yang sangat bernilai bagi kedua pihak yang berseteru untuk mengetahui bagaimana keputusan lembaga tersebut harus ditindaklanjuti, terutama bagi para pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Pilkada Aceh.

Kemudian, sebagai penengah, Pusat perlu membangun prinsip-prinsip dialog yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkonflik. Prinsip-prinsip itu meliputi: pertama, pengakuan atas tatanan konstitusi yang berlaku di republik ini, contohnya pengakuan atas kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dan keputusannya bersifat final. Kedua, menagih komitmen kedua pihak menyelesaikan persoalan ini dengan cara-cara damai. Kalau melihat perjalanan politiknya, antara kedua belah pihak sebenarnya memiliki satu kesamaan, yakni sepakat dengan sistem politik demokrasi yang telah dipilih oleh negeri ini. Sehingga prinsip-prinsip dialog yang ditawarkan seharusnya bisa diterima dengan baik. Istilahnya, kedua prinsip itulah yang menjadi nyawa dari sistem politik demokrasi.

Pada akhirnya, rakyat Aceh yang masih berjarak dengan kekuasaan, dan baru dijadikan sahabat bahkan “saudara senasib” ketika musim pemillu tiba untuk kemudian dilupakan kembali, hanya berharap konflik ini tidak terlalu merepotkan dan merugikan hidup mereka. Tidak macam-macam, cuma harapan sederhana aja, kok! []

Penulis adalah pemerhati sosial-politik. Berdomisili di Banda Aceh.
e-mail: [email protected]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU