Di belantara Masen, raung mesin chainshow menaklukkan kicau burung. Warga desa di Kecamatan Sampaoiniet, Aceh Jaya itu hanya kuasa memendam berang. Delapan tahun sudah, saban hujan lebat pegunungan Masen mengirim bah.
PT. Aceh Inti Timber, sempat jaya di hutan. Pemerintah memberi izin perambahan sejak 1980an. Menurut Armia, pohon yang telah ditebas tak ditanam kembali. Kecamuk Aceh yang menyelamatkan rimba. Sekitar 2001, kedikdayaan Aceh Inti Timber pudar.
Masalah muncul usai pembalak angkat kaki. Hutan gundul. Ribuan hektar kebun kopi milik warga, berubah jadi rawa usai dihantam bandang awal tahun 2001. Pohon kopi siap panen, mati digenang air lumpur. Ratusan petani kopi, kehilangan mata pencaharian.
Sebelum petaka memuncah, kopi asal Masen masyhur. Bahkan diekspor hingga ke Malaysia. Menurut Armia, dijaman keemasan, desanya memproduksi lebih 200 ton kopi setiap bulannya.
Kala Masen makmur, ramai warga bertandang ke Mekkah; menunaikan ibadah haji.
”Saya saat itu juga sudah ada rencana akan naik haji, karena ada rezeki sedikit, tapi tidak jadi lagi,” tutur Teungku Isa, 75 tahun, mengenang runyam nasib dirudung banjir.
Isa, salah seorang warga, mengaku mapan sebelum bencana. Ia memiliki 20 hektar kebun kopi. Bapak tujuh anak ini, berhasil membangun rumah dari berkebun. Sekarang, ia tak punya pekerjaan tetap.
Bersama ratusan warga lainnya, Isa menjadi pekerja upahan di kebun karet dan sawah milik warga.
Alam semakin garang. ”Dulu banjir hanya terjadi sewaktu-waktu, paling banyak setahun sekali,” ujar Fadli Syah, Kepala Desa Masen. Akhir Mei lalu, saat bulir padi ranum, air bercampur lumpur melumatnya. ”Bantuan dari Pemerintah tidak ada,” katanya.
Ia berharap pemerintah segera menghalau banjir. Caranya, membangun tanggul sepanjang 500 meter.
Selain banjir, Masen juga kerap digempur kawanan gajah. Nyali warga susut ke kebun. ”Ini baru beberapa tahun ini kami rasakan,” tutur Fadli.
Selain merusak tanaman, rumah warga juga kerap jadi sasaran amuk gajah. Insiden terakhir awal Juli lalu. Tiga rumah warga ambruk, selain dua berandang padi rusak. Serupa banjir, pemerintah setempat tak acuh. ”Kerusakan rumah mereka sendiri yang perbaiki,” ujar Fadli.
***
Penduduk desa ini sekarang berjumlah 333 jiwa dari 85 kepala keluarga. Masen salah satu potret desa tertinggal. Letaknya terpencil. Jalan tak beraspal, serupa kubang.”Untuk melihat jalan teraspal, kami harus ke Calang,” sindir Fadli.
Calang ibukota Aceh Jaya, sekitar 35 kilometer lebih dari Masen. Tak ada transportasi umum dari Calang menuju Masen. Angkutan hanya singgah di Suwak Beukah, Sampoiniet, sekitar 10 kilometer dari Masen.
Untuk berbelanja kebutuhannya ke Keude Suwak Beukah, warga turun sekali seminggu. Angkutan umum, hanya ojek. Perjalanan ke Suak Beukah dikelilingi belantara.
Ihwal kesehatan, warga harus harus ke Fajar, Sampoiniet dengan waktu tempuh sejam dari Masen. Puskemas Pembantu tersedia, namun tak ada juru medis. Tak ayal, wanita bersalin menggunakan jasa dukun.
Mayoritas warga Masen, menempuh pendidikan hanya sebatas SMP. Jarak tempuh, membuat warga engan menyekolahkan anaknya. Biasanya, warga menyekolahkan anak bila sudah berusia 10 tahun. Alasannya, iba melihat anaknya berjalan kaki hingga 10 kilometer ke sekolah.
Tapi kini, Masen sudah memiliki SD Persiapan. Sekolah ini digagas LSM LPMP dan dikelola Pemkab Aceh Jaya. ”Kami senang,” kata Tuti, seorang murid.
Selain itu, gelombang raya lima tahun silam telah melumat listrik dari Masen. Kini warga hanya memiliki penerang teplok. Menurut Fadli, pihaknya sudah berulang kali memohon dengan lisan bahkan proposal ke PLN Cabang Calang. Namun hanya janji yang didapat. Berang tak kepalang, maling mencuri kabel listrik dari tiangnya.
Singkat cerita, nasib Masen serupa namanya; asin.[]