Friday, April 19, 2024
spot_img

ARSIP | Wali Nanggroe Hanya di Kamus Tua

DINGIN menembus jaket. Pohon-pohon apel di perkarangan klinik itu, kuyup dihembus angin musim gugur. Belasan derajat Celsius cuacanya. Di ujung senja, tujuh anggota parlemen bertandang ke rumah berobat di Hägersten, 10 kilometer dari Stockholm – ibukota Swedia. “Sehari sebelumnya mereka menghubungi saya,” kata dr Husaini Hasan, sang pemilik klinik.

ACEHKINI
Tak ada bahasan medis. Di dalam klinik krem itu, romansa bergelinding. Mukhlis Mukhtar, ketua tim panitia khusus (Pansus) XI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), bahkan sempat melepas kangen dengan rekan satu SMA di Meureudu, Pidie, setelah sekian tahun tidak bertemu. Husaini memang mengundang lima warga asal Aceh yang selama ini menetap di Swedia, dalam pertemuan itu.

Pertemuan akhir Agustus silam itu bukan reuni. Husaini, bagi tim penyusunan rancangan qanun wali nanggroe, ini salah satu kunci. Dia dibujuk untuk merayu Tengku Hasan Muhammad Ditiro –pimpinan tertinggi Gerakan Aceh Merdeka—agar berkenan bertemu tim penyusun qanun wali nanggroe.

Sayang, dua jam lebih pertemuan hasilnya nihil. Husaini tak bisa menyanggupi. Bahkan melunturkan semangat anggota Pansus. “Jangankan anda yang jauh-jauh baru saja datang ke sini, kami saja yang sudah puluhan tahun tidak pernah bisa jumpa lagi dengan Hasan Tiro,” jawab Husaini pada delegasi DPRA.

Bak kata pepatah ‘tak ada rotan akarpun jadi,’ tim Pansus justru menanyakan pendapat Husaini ihwal qanun wali nanggroe. Lagi-lagi apes, Husaini malah menanggapi dingin. Dengan diplomatis, dia menyatakan penolakannya terhadap isi qanun. Bahkan, ia menyudutkan tim Pansus. “Untuk apa lagi capek-capek ke Belanda,” ujarnya.

Pertemuan Hägersten ini sebenarnya juga tak mulus. Serangkaian rencana telah buyar. Mulanya, Pansus mengundang Husaini Hasan dan pengikutnya bertemu di Kedutaan Indonesia, Stockholm. Tapi, tokoh Gerakan Aceh Merdeka angkatan 1976 yang menjabat menteri pendidikan dalam struktur kabinet Hasan Tiro itu menolak. Begitu juga saat lokasi pertemuan dipindahkan ke Scandic Hotel, juga ditolak.

Menurut Mukhlis Mukhtar, pihaknya juga tak pernah ketemu dengan tokoh GAM di Swedia. Bukannya tak dihubungi, tetapi para petinggi GAM memang tak mau berjumpa. Bahkan dr Zaini Abdullah, mantan menteri kesehatan dan luar negeri GAM, adalah orang pertama yang dihubungi setelah tim sampai di Stockholm.

Zaini, selain menolak untuk berjumpa, juga enggan membantu Pansus bertemu Hasan Tiro. ”Kalian jangan ketemu saya, kalau saya ketemu kalian nanti saya akan disiram oleh orang Aceh,” kata Mukhlis mengulang ucapan Zaini Abdullah.

Pernyataan Zaini, tak membuat tim Pansus mengurungkan niat mereka. Lagi pula sebelum berangkat, Mukhlis terlanjur sesumbar di media massa. Katanya, “persiapan sudah sangat matang, maka Pansus-XI DPRA tetap berangkat.”

Memang Pansus telah bertekad mewujudkan keinginannya bertemu Hasan Tiro, yang disahihkan sebagai wali nanggroe oleh gerilyawan GAM. Di hari yang lain, dipandu rekan sekampung Mukhlis Mukhtar, yang ditemui dalam pertemuan Hägersten, tim Pansus bertandang ke kawasan Albyvägen 11, Alby, Norsborg. “Yang itu rumahnya,” ujar si pemandu sambil menunjuk ke lantai lima sebuah apartemen, yang tak lain adalah kediaman Hasan Tiro.

Seperti dugaan banyak pihak, termasuk Husaini Hasan, anggota tim Pansus tidak beruntung. Jangankan bertemu, Hasan Tiro pun tak terlihat. Agar tak rugi jalan, anggota dewan mendadak seperti wisatawan. Sesi berfoto-foto ria berlangsung, latarbelakangnya tentulah apartemen berwarna coklat itu.

Upaya bertemu Hasan Tiro juga dicoba melalui jaringan diplomat Indonesia di Swedia, tetapi tetap tak berhasil. “Beliau dalam kondisi sakit yang harus berobat rutin di sebuah rumah sakit,” jelas Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Swedia, Linggawati Hakim. Maklum, usianya kini sudah 83 tahun dan dikabarkan pernah terserang stroke. Tapi isu sakitnya Hasan Tiro, bohong. ”Yang tidak mau bertemu sebetulnya bukan Hasan Tiro, tetapi lingkaran terdekat beliau,” timpal Mukhlis Mukhtar.

Tak hanya foto kediaman ‘wali’ hasil kunjungan ke Swedia. Menurut Mukhlis, pihaknya juga meraup banyak masukan dari masyarakat Aceh di sana. Caranya, dengan menggelar pertemuan di Kedutaan RI dan Scandic Sergel Plaza Hotel. Di Malaysia, pengumpulan aspirasi juga dilakukan lewat pertemuan di Kedutaan RI, Kuala Lumpur.

***

GAGAL bertemu Hasan Tiro tak membuat tim Pansus patah arang. Mereka lalu memburu ragam literatur di Belanda. Salah satu yang dituju, pustaka Universitas Leiden. Berbagai buku kuno dibaca, di antaranya De Inrichting van het Atjehsch Staatbestuur Onder het Sultanaat, karya K.F.H Van Langen. Buku yang berisi susunan pemerintahan Aceh masa kesultanan ini, tak memberi titik terang. ”Tidak ada istilah Wali Nanggroe di sini,” jelas Mukhlis Mukhtar.

Buku yang ditulis J.Jongenjans tahun 1939 juga disibak Pansus. Hasilnya juga nol, tak ada ‘wali’. Buku berjudul Land en Volk van Atjeh Vroeger en NU (Negeri dan rakyat Aceh dahulu dan sekarang) itu, lebih fokus pada bahasan pembagian wilayah kerajaan serta peran ulama. Selain itu, Pansus menelusuri buku karya J. Kreemer berjudul Atjeh setebal 1406 halaman. Walau bercerita tentang sejarah Aceh lampau hingga tahun 1910, juga tak ada kata wali nanggroe di sana.

Menariknya, istilah wali nanggroe justru baru ditemukan di halaman 1271 kamus Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek (Kamus Aceh-Belanda) Jilid II. R.A Hoesein Djajadiningrat, penulis kamus keluaran tahun 1934, mengartikan wali nanggroe: bestuurder Van een land van een gebied (penguasa sebuah negeri). “Juga dicontohkan sama dengan istilah landvoogd atau gubernur jenderal,” jelas Mukhlis Mukhtar. Namun, namanya juga kamus. Tentu di sana tetap tidak ada paparan riwayat, kewenangan, struktur dan kedudukan wali nangroe yang dicari-cari tim Pansus.

Para legislator Aceh juga melaporkan bahwa mereka telah mewawancarai Prof. Dr. Teuku Iskandar di Leiden. Ahli sejarah dan kebudayaan Aceh ini mengaku pernah mendengar istilah wali nanggroe, tapi bagaimana kedudukan, fungsi dan wewenangnya tidak pernah dia temukan dalam literatur-literatur Belanda.

Istilah wali nanggroe hanya pernah ditemukan saat Belanda membentuk negara-negara federal (negara boneka) pada era revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pimpinannya disebut “wali negara”, seperti wali negara Sumatera Timur, dr Tengku Mansur.

Dari pertemuan itu membuat Teuku Iskandar terjangkit penasaran. Pada Pansus, dia berjanji akan ‘memburu wali’ di Algemene Rijk Archief (ARA), pusat arsip terbesar di Den Haag. Tetapi sampai para anggota dewan pulang ke Aceh, tak ada kabar dari Iskandar apakah ‘perburuannya’ berhasil menemukan titik terang atau tidak. Dia berjanji bila ditemukan, akan menginformasikan kepada tim Pansus.

Sementara Pansus terus melanjutkan pencarian literatur ke museum Broen Beek di Arnheim. Pemandu mereka, Kolonel J.C.L Bolderman yang tak lain pimpinan museum, dan ajudannya, Jan en Ceciel Aveersteeg yang fasih bahasa Indonesia. Alih-alih memperoleh literatur wali nanggroe, para wakil rakyat menemukan meriam Lada Sicupak dan bendera kerajaan Aceh saat perang dengan Belanda.

Mev. Adriaans, petugas perputakaan hanya bisa menunjukkan buku The Atjehers karya C. Snouck Hurgronje, tahun 1894. Selain itu juga ditunjukkan buku G.W.J Drewes dan P. Voor Hoeve yang bercerita soal adat Aceh. Singkat cerita, Pansus tak menemukan literatur tentang wali nanggroe dari hasil lawatan ke beberapa museum di negeri bekas penjajah itu.

***

KALAU di Swedia anggota DPRA membawa pulang foto apartemen Hasan Tiro, nah dari Belanda ada foto kapal perang. Namanya KRI Sultan Iskandar Muda. Kapal ini diresmikan operasionalnya di galangan Kapal Holland, di Vlissingen. Walau diambil dari nama raja Aceh yang terkenal itu, kapal tersebut tentu tidak ada sangkut paut dengan wali nanggroe.

Mukhlis Mukhtar sama sekali tak sesal atas hasil yang diperoleh dari kunjungan kerja tim yang dipimpinnya. Menurut dia, kunjungan yang menghabiskan biaya Rp 1,4 milyar itu pantas dilakukan. Pasalnya, “secara logikal teknis yuridis, harus bertemu dan meminta tanggapan langsung Hasan Tiro,” jelas Mukhlis Mukhtar. Dalihnya, saat proses perundingan putaran ketiga antara pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, disepakati bahwa wali nanggroe pertama adalah Hasan Tiro.

Pusing tim Pansus berlipat. Qanun ini masuk prioritas Program Legislasi Aceh (Prolega) yang harus diselesaikan tahun ini. Di lain sisi, GAM yang dinilainya sangat berkepentingan dengan qanun ini justru tidak menyokong. Termasuk Irwandi Yusuf, gubernur Aceh yang dikenal sebagai juru propaganda GAM ketika konflik masih mendera, terkesan buang badan.

Irwandi, mulanya mendukung rencana kunjungan kerja Pansus ke luar negeri. Awal Juli silam, dalam sebuah pertemuan tertutup antara gubernur dengan tim Pansus, Irwandi bahkan menyatakan akan ikut serta bersama tim wakil rakyat ke Swedia untuk bertemu Hasan Tiro.

Dua pekan setelah pertemuan itu, terbitlah sebuah rekomendasi Gubernur Aceh bernomor 098/25067. Menyusul kemudian, rekomendasi Gubernur Aceh Nomor 098/32167 pada Agustus lalu. Dua surat rekomendasi ini yang menjadi modal bagi Pansus untuk bergerak. Tak ayal, Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, juga mengeluarkan izin prinsip bernomor 099/2489/SJ pertengahan Agustus lalu bagi keberangkatan tim Pansus wali nanggroe ke Swedia dan Belanda.

Tak disangka Mukhlis Mukhtar, Irwandi Yusuf justru menganulir dukungannya sehari menjelang keberangkatan tim. Dari Singapura, saat menjalani perawatan medis, dia meminta Husni Bahri TOB, Sekretaris Daerah Aceh, agar meneruskan pesannya ke Mukhlis Mukhtar.

Sejatinya, dalam rombongan itu juga ikut wakil Pemerintah Aceh dan utusan dari Komite Peralihan Aceh (KPA) –tempat bernaungnya para bekas kombatan GAM. Tapi apa lacur, dua perwakilan KPA yang telah dimasukkan namanya dan utusan eksekutif membatalkan ikut menjelang hari keberangkatan.

Ibrahim Syamsuddin, jurubicara KPA, membenarkan jika ia sempat dimasukkan dalam tim yang berangkat. Namun karena tak ada kepastian bertemu Hasan Tiro dan ada agenda lain yang lebih mendesak, dia memutuskan tidak ikut. Pria yang akrab disapa Ibrahim KBS mengaku bahwa dirinya bersama Yahya Muaz adalah tim ahli dalam penyusunan qanun wali nanggroe.

Karena tim Pansus tetap nekat berangkat, akhirnya Ibrahim pun menjadi bagian dari orang yang berseberangan dengan Pansus. Ketika dikonfirmasi ACEHKINI, akhir September lalu, dia mengaku sempat melarang tim Pansus ke luar negeri.

“Sudah diberi sinyal sebelum berangkat,” kata Ibrahim. “Tapi mereka tak dengar. Seharusnya mereka tidak memaksa kehendak dan ngotot menyelesaikan qanun itu.” Alasannya, masa kerja anggota DPRA sekarang hanya tinggal sebentar lagi.

Dia juga mengaku pernah menyarankan agar qanun wali nanggroe benar-benar berkualitas dan efisien sesuai keinginan masyarakat. Dalam beberapa pertemuan yang digelar di Aceh dan Jakarta sebelum tim Pansus melawat ke luar negeri, jelasnya, kehendak masyarakat Aceh hampir sama dengan yang diinginkan KPA yaitu qanun wali nanggroe berwibawa dan berkualitas. “Kon sebatas basa-basi jak peureutek ie on watee buka lueng atawa rapai uroh,” ujar Ibrahim.

Dia mengharapkan substansi qanun wali nanggroe mengadopsi sistem yang ada di negeri jiran Malaysia, yakni Yang Dipertuan Negeri yang bisa memposisikan diri sebagai pemersatu berbagai kepentingan etnis. “Kalau sultan, kan tak cocok lagi kalau kita buat di Aceh, karena sudah lama tidak ada sultan. Makanya kita sarankan menganut seperti Yang Dipertuan Negeri,” ujarnya.

Ibrahim juga tahu, wali nanggroe tidak dikenal dalam sejarah Aceh. Asal usul dua kata itu sendiri sebenarnya, hanya sebutan para gerilyawan GAM pada pimpinan tertinggi mereka. Fungsinya pun tak serumit seperti yang dibayangkan rakyat Aceh selama ini. “Waktu kami ingin berpisah dengan Republiken, yang dipertua daripada masalah itu adalah wali nanggroe,” katanya.

Nasi telah jadi bubur. Cerita kunjungan luar negeri anggota legislatif selesai. Tapi kisah Pansus mengadon qanun ‘wali’ belum tamat. Aksi itu akan dimulai selepas Idul Fitri nanti. Selama Ramadan, mereka memutuskan untuk “istirahat.”

“Agenda lain yang tersisa, mengundang Hasan Tiro ke Aceh,” ungkap Mukhlis Mukhtar, tanpa menyebut tanggal pasti. “Kami usahakan pada Idul Fitri untuk lebih mempererat silaturahmi.”

Agenda itu, kata dia, keputusan rapat Pansus dan telah dikomunikasikan dengan Wakil Gubernur, Muhammad Nazar. Selain itu, Pansus akan kembali melakukan kunjungan kerja ke Kutai, Jogjakarta, Solo dan Riau.

Zaman perang, kata wali nanggroe hanya terdengar sayup dari gerilyawan GAM. “Peunutoh wali” begitu sering bergaung. Atas dalih mencari peunutoh wali pula, tim Pansus ‘tamasya kerja’ ke luar negeri. Di Belanda, wali nanggroe hanya ada di kamus tua. Di Aceh, wali nanggroe punya kuasa. [acehkini.co.id]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU