Wednesday, April 17, 2024
spot_img

Akhir Diari Sang ‘Wali’

PENGANTAR REDAKSI:
Berikut kami tayangkan kembali tulisan mengenai Hasan Muhammad di Tiro, deklarator Aceh Merdeka, yang meninggal siang tadi, Kamis (3/6), akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Tulisan ini pernah dipublikasikan di ACEHKINI. Selamat membaca!

Redaksi

Kepulangan Hasan Tiro ke Aceh masih menyimpan tanya. Berikut catatan wartawan ACEHKINI, Yuswardi Ali Suud, yang menemuinya dari Malaysia hingga Banda Aceh.

Genggaman tangannya masih terasa menyengat. Setidaknya, itulah yang terjadi saat kami bersalaman pada suatu sore awal Oktober lalu. Mendung yang menggayut di langit Selangor, Shah Alam, Malaysia, sama sekali tak berpengaruh pada suasana pertemuan. Senyum tak henti mengembang dari bibirnya. Sesekali dia tertawa lepas. Mata tua itu tampak berbinar.

Di kamar tempat ia menginap, di lantai 15 Hotel Concorde Selangor, sekitar 45 kilometer dari Kuala Lumpur, ia menerima setiap tamu yang mengunjunginya. Kamar itu cukup luas. Maklum, ini kamar kelas atas: president suite. Di dalamnya, ada ruang tamu dengan empat sofa warna coklat. Di atas meja, tergeletak dua buku tebal tentang sejarah Aceh. Di luar, menara masjid biru Selangor menjulang, menusuk langit.

Kamar tidur yang berhadapan dengan ruang tamu masih tertutup dan baru terbuka semenit kemudian. Dari dalam, lelaki itu keluar dengan senyum mengembang. Di usia senja, dia masih tampil necis: mengenakan jas, kemeja putih dan dasi marun.

“Anybody here from Aceh?” Ia bertanya pada tujuh orang yang berbaris menyamping, memberi jalan menuju sofa. Yang ditanya hanya tersenyum. Ketujuh orang itu adalah bekas anggota pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) alumni Libya, yang bertugas mengawalnya selama di Malaysia.

“Ya, semua orang Aceh, Pak Cik,” sahut Muzakir Abdul Hamid, pria yang mendampinginya dalam bahasa Aceh.

“Good, very good.”

Lelaki yang dipanggil Pak Cik itu, Hasan Muhammad di Tiro, lantas menyalami mereka. Semua mencium tangannya, penuh takzim. Kepada setiap orang yang disalaminya, Hasan Tiro selalu berujar, “Thank you, thank you very much.”

Kami menemuinya pada hari kedua ia tiba di Malaysia. Saya bersama dua wartawan Aceh lain adalah jurnalis pertama yang diberi kesempatan bertemu pencetus sekaligus pimpinan tertinggi GAM itu. Bagiku, ini adalah pertemuan pertama. Kepulangan Hasan Tiro adalah berita besar. Maklum, 29 tahun hidup terasing di Swedia membuatnya tak gampang ditemui. Tak pernah ada wartawan Aceh yang bertemui dia sebelumnya. Itu sebabnya, kami “memburu” dia ke negeri jiran, Malaysia.

Muzakir Hamid yang duduk diapit Zaini Abdullah dan Ibrahim KBS memperkenalkan kami satu per satu. Hasan Tiro kembali mengangguk sembari mengucap, “Thank you.” Berpuluh tahun menetap di luar negeri membuatnya akrab dengan kata itu. Kata itu pula yang terlontar berkali-kali ketika Muzakir menunjukkan majalah ACEHKINI edisi Oktober yang bersampul dirinya.

Usai perkenalan, giliran Zaini angkat bicara. Mantan menteri luar negeri GAM itu mewanti-wanti orang Aceh agar merawat perdamaian yang telah dirajut. Ia mengibaratkan perdamaian seperti bunga yang harus senantiasa disiram. “Tapi jangan sampai melewati batas sehingga menjadi takabur,” ujarnya.

Zaini juga menyentil mantan anggota GAM yang terlibat tindak kriminal. Ia tampaknya resah karena masih adanya bekas petempur GAM yang berbuat onar. Itu sebabnya, dia meminta tidak ada anggotanya yang mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi terlibat kriminal. “Kita semua harus bisa menjaga diri dan memelihara perdamaian agar abadi, sehingga cita-cita kita tercapai,” serunya.

Hasan Tiro tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar Zaini bicara. Satu jam sebelum pertemuan itu, kami sudah diwanti-wanti untuk tidak mengajukan pertanyaan. “Mau diterima saja sudah syukur,” ujar seorang pengawal.

Untungnya, di akhir pertemuan selama 24 menit itu, Zaini membuka peluang bertanya.

“Apa pesan wali untuk masyarakat Aceh?” seorang rekan saya, mengambil kesempatan itu. Hasan Tiro tampak mengernyitkan dahi. Zaini yang duduk di sofa sebelah kirinya menerjemahkan pertanyaan itu ke dalam bahasa Inggris.

Hening. Tak ada suara. Sesaat kemudian, barulah Hasan Tiro buka suara. Dengan suara terputus-putus ia meminta rakyat Aceh melek sejarah. “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa itu tidak mungkin membina hubungan dengan negara-negara lain seperti yang terjadi sekarang ini,” ujarnya dalam bahasa gado-gado, Aceh bercampur Inggris. Saat berbicara, matanya menatap tajam lawan bicara.

“He had done anything that happened. People ini Papua… lebih banyak yang mereka usaha sekarang bahwa ber…berju…ang… itu penting sekali. Saya dengar orang Aceh banyak sekali di Jakarta sekarang, berjuang untuk Aceh. Dan semua orang, semuanya mau seperti…”

Suaranya terhenti. Muzakir Hamid menimpali, ”Semuanya ingin seperti Aceh.” Hasan Tiro mengiyakan. Melihat Hasan Tiro mulai susah bicara, Syarif Usman yang sedari tadi duduk di kursi belakang menghentikan perbicangan. “Sudah cukup, wali masih kelelahan,” ujarnya. Syarif adalah seorang pengikut Hasan Tiro yang bermukim di Swedia.

Walhasil, hanya satu pernyataan terlontar. Tampaknya, stroke yang pernah mendera membuatnya tak lagi bisa bicara panjang lebar. Apalagi, usianya kian senja. Pada 4 September lalu, ia genap 83 tahun. Ditanya soal ini, Muzakir Hamid yang juga adik ipar Zaini Abdullah hanya menjawab singkat: “faktor usia.” Saat kami berlalu, sempat kulirik ia melambaikan tangannya.

***

HASAN Tiro bagai magnet yang menyedot orang berdatangan ke Concorde. Di lobi hotel, kesibukan sangat kentara. Selama sepekan, lobi hotel bintang empat yang memiliki 381 kamar dan empat kamar suite dipenuhi lalu lalang orang Aceh. Sembilan sofa warna coklat hampir tak pernah kosong. Orang-orang datang silih berganti. Yang satu pulang, datang rombongan lain. Sejumlah bekas tentara GAM silih berganti mengamati setiap tamu yang datang.

Di Malaysia, penyambutan dipersiapkan oleh Majelis Nasional Aceh se-Malaysia. Ini adalah istilah untuk anggota GAM di Malaysia. Di bawah koordinator Saaduddin bin Abdullah, yang mengetuai kawasan Rantau Panjang-Klang, mereka juga mengurus segala tetek bengek administrasi hingga urusan sewa menyewa pesawat yang dipakai untuk menerbangkan Hasan Tiro ke Aceh. Kamar 910 disulap menjadi semacam kantor kecil. “Kepulangan bersejarah ini harus dipersiapkan sebaik mungkin,” ujar Saaduddin.

Tak semua orang yang datang mendapat “tiket” bertemu Hasan Tiro. Apalagi, siang hari itu tamu tak diperkenankan meluncur ke lantai 15. Saat itu dimanfaatkan Hasan Tiro untuk beristirahat. Pintu baru dibuka kembali pukul 17.00. Muzakir Hamid bolak-balik turun naik dari lantai 15 ke lobi hotel. Pria berkulit putih yang akrab disapa ustad itu bertugas menyusun jadwal pertemuan.

Hari ketiga gelombang tamu kian deras. Ada yang dari Aceh, ada pula yang mewakili pemerintah Indonesia, seperti Zainal Arifin dari Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Desk Aceh. Mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga ketua juru runding pemerintah Indonesia, Hamid Awaluddin datang keesokan harinya. Rombongan ulama Aceh yang dipimpin Profesor Teungku Muhibudin Waly tiba di hari yang sama.

Hasan Tiro laksana legenda hidup yang menyihir. Lantang menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah Jakarta, lelaki yang pernah 25 tahun menetap di Amerika Serikat itu menggagas nasionalisme Aceh. Untuk mewujudkan ide itu, Hasan Tiro meninggalkan istrinya Dora, anak semata wayangnya Karim Tiro, dan perusahaannya di New York.

Ia memilih naik gunung dan mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976. Keluar masuk hutan sejak kurun 30 Oktober 1976, dia memilih hengkang ke Malaysia pada 29 Maret 1979. Sempat singgah di sejumlah negara, ia mendapat suaka politik di Swedia. Di negara Skandinavia ini juga, dia mengantong kewarganegaraan. Pengalaman tiga tahun di belantara Aceh dituangkannya dalam buku catatan harian berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro.

Sejak itu, Hasan Tiro membentuk pemerintahan di pengasingan. Mengangkat diri sebagai Presiden ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front), dia melanjutkan ’remote control’ dari sebuah apartemen di Norsborg, pinggiran ibukota Stockholm. Sayangnya, tak ada lagi catatan pribadi yang dipublikasi setelah The Price of Freedom. Kegiatannya yang paling menonjol setelah itu: mengirim generasi penerus GAM latihan militer di Libya.

Alumni Libya ini sebagian pulang ke Aceh, sebagian lain menetap di Malaysia. Teungku Abdurrahman, masuk dalam barisan kedua. Lelaki berkepala plontos ini kini berusia 58 tahun. Berangkat dari Malaysia tahun 1988, ia satu angkatan dengan Muzakkir Manaf. Setahun ditempa pendidikan militer ala gurun pasir, ia balik ke Malaysia, negeri yang sudah ditempatinya sejak 1984.

Sebagai alumni Libya, dia sempat bergaul dekat dengan Hasan Tiro. Itu sebabnya, mendengar kabar Hasan Tiro singgah di Malaysia sebelum menjejakkan kaki di Aceh, ia girang bukan kepalang. Maklum, sepulang dari Libya, mereka tak pernah lagi bertemu.

Walhasil, hotel Concorde menjadi ajang reuni. Saat tiba giliran bertemu Hasan Tiro, Abdurrahman berusaha keras mendongkrak ingatan ”sang wali.” Usahanya tak sia-sia, Hasan Tiro masih mengenalnya. ”Elite, elite. Good, very good,” ujar Hasan Tiro. Elite adalah julukan yang ditabalkannya untuk alumni Libya sebagai pasukan elite.

Pada pertemuan 10 menit itu, tak ada petuah bijak atau nasihat Hasan Tiro seperti saat berlatih di kamp militer Tanzura, Libya, 20 tahun silam. Tak ada pula pidato yang mengobarkan api perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. ”Kami hanya bersalaman dan foto bersama,” ujar Abdurrahman.

Sepekan di Concorde, Hasan Tiro praktis hanya menghabiskan waktu di kamar hotel. Bila jam makan tiba, ada saja yang mengantar makanan dalam rantang. Sehari menjelang terbang ke Aceh, dia dibawa jalan-jalan ke Putra Jaya, kota pusat pemerintahan Malaysia, yang berjarak tak lebih 20 kilometer dari Selangor. Di sana, ia menikmati sore di tepi danau buatan Tasik Putra Jaya yang membelah kota itu, sembari menghabiskan sekaleng Coca-Cola yang dituang di gelas besar.

***

HARI yang dinanti akhirnya datang juga, 11 Oktober. Pagi-pagi, orang-orang bergegas, berkejaran dengan waktu. Pukul 07.30 waktu Malaysia, lebih dari seratus orang meninggalkan hotel Concorde menuju bandara Subang Jaya. Dengan badge bertuliskan ”Delegasi Wali” melingkar di leher, mereka mengenakan jas lengkap dengan dasinya.

’Delegasi Wali’ dibagi dua pesawat yang dicarter khusus. Saya bersama lima wartawan lain, satu pesawat dengan Hasan Tiro. Meski wartawan, kami juga diwajibkan berjas ria. Untunglah, saya bersama teman jurnalis Aceh sempat membeli jas seharga 60 ringgit atau setara 120 ribu rupiah di pasar murah dua hari sebelumnya.
Di ruang VIP bandara Subang, Hasan Tiro terlihat tak sabar. Berkali-kali ia melirik jam Rolex yang melingkar di lengan kirinya. Waktu keberangkatan memang bergeser. Dari rencana bertolak pukul 09.30, pesawat baru terbang satu jam kemudian.

Saat pesawat Firefly ATR 72-500 menjejakkan roda di Bandara Sultan Iskandar Muda, darahku berdesir. Di landasan pacu, di atas truk-truk yang parkir di luar pagar bandara, orang-orang melambaikan tangan. Dari tempatku duduk di bangku 8A, kulihat Hasan Tiro membalas lambaian dari jendala tempat duduknya di kursi 1A.

Saat hendak meninggalkan pesawat, sempat kulirik ia menyusupkan jari ke balik kacamatanya. Entah apa yang berkelindan di kepalanya. Yang jelas, lima belas menit sebelum pesawat mendarat, dia sempat bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Amir Mahmud, abang Malik Mahmud yang duduk di kursi 8D. Bisa jadi ia terkenang pada sebaris kalimat yang ditulisnya dalam The Price of Freedom, ”hanya orang gila dan dungu yang percaya aku tak akan kembali lagi”.

Hari itu, Hasan Tiro membuktikan janjinya. Setelah dia kembali lagi ke apartemennya di Norsborg, dalam balutan salju yang menusuk kulit, siapa tahu ia menuntaskan buku catatan harian yang tak selesai, tentang harga sebuah kemerdekaan. Kepulangannya 11 Oktober lalu, yang membawa pesan damai selama 15 hari, tak bisa serta-merta diartikan buku harian itu telah tamat. Mungkin ending-nya tak sesuai harapan. Ya, siapa tahu… [a]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU