Friday, March 29, 2024
spot_img

Aceh Wetland Foundation: Mari Bersuara Selamatkan Mangrove Aceh

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Hari Wetland Sedunia (Hari Lahan Basah Sedunia) diperingati setiap 2 Februari. Mangrove adalah salah satu habitat lahan basah paling penting di muka bumi, menjadi satu-satunya prioritas kampanye perlindungan yang dilakukan Aceh Wetland Foundation (AWF).

Narahubung AWF, Yusmadi Yusuf, menyebutkan tahun ini peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2022 mengusung tema ‘Wetlands Action for People and Nature‘ atau Aksi Lahan Basah untuk Manusia dan Alam. Pesan yang ingin disuarakan kepada khalayak adalah Value Manage Restore Love Wetlands.

Value adalah menghargai lahan basah atas berbagai manfaat terhadap kehidupan manusia dan kesehatan planet. Manage yaitu mengelola dengan bijak dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Restore merupakan pemulihan atas lahan basah yang terdegradasi.

AWF sebagai lembaga yang fokus pada perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan mangrove di Aceh mengajak semua pihak, khususnya key stakeholder untuk bersuara melawan segala bentuk kejahatan lingkungan, khususnya di kawasan hutan mangrove.

Biodiversity dan Data Penyusutan Hutan Mangrove

Menurut data AWF, pantai timur Aceh merupakan daerah yang memiliki hutan mangrove terluas. Persebarannya di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Kota Langsa, dan Lhokseumawe. Luas mangrove Aceh Tamiang (15.447,91 hektare), Kota Langsa (5.253,15 hektare), Aceh Timur (18.080,45 hektare), Aceh Utara (959,11 hektar), Lhokseumawe (88,34 hektare) dan Bireuen (25,57 hektare).

Sementara tingkat kekritisan lahan mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi rusak berat seluas 36.064 ha, rusak sedang seluas 28.729 ha dan yang tidak rusak hanya 7.548 ha.

Di pesisir timur, hutan mangrove terdiri dari tiga famili yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Euphorbiaceae dan 7 jenis pohon: Bruguiera gimnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Sonneratia ovata.

Yusmadi mengatakan hutan mangrove terus menysut akibat dijadikan lahan perkebunan, tambak, permukiman dan penebangan liar. Luas hutan mangrove di pesisir timur Aceh berkurang tetrus berkurang, sebagian besar disebabkan penebangan liar untuk bahan baku arang.

Selain itu, persoalan banjir di Aceh saat ini disebabkan rusaknya kawasan hutan dan hilangnya area tangkapan air di sepanjang DAS. Karena itu lahan-lahan gambut di sepanjang DAS harus dikembalikan fungsinya sebagai kawasan resapan untuk mencegah banjir berulang.

AWF juga menyorot tata kelola hutan mangrove di Aceh saat ini masih sangat amburadul. Aksi penebangan liar tanpa melalui tata kelola pemanfaatan kawasan hutan yang sesuai dengan mekanisme perhutanan sosial yang tercatat di Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).

Sikap AWF

AWF melihat problematika di habitat mangrove sudah sedemikian parah dan memerlukan penanganan serius oleh Pemerintah terkait tata kelola hutan. Berdasarkan persoalan tersebut, maka AWF menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Pemerintah Aceh harus memprioritaskan perlindungan lahan basah (wetlands) sebagai kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi.
  2. Pemerintah Aceh harus segera mencabut izin pemilik konsesi hutan di habitat mangrove yang sudah terbukti melanggar tata kelola kawasan hutan.
  3. Pemerintah harus melibatkan komunitas adat/lembaga adat terkait pengelolaan hutan mangrove di pantai timur Aceh.
  4. Pemerintah lokal/kabupaten/kota harus mengeluarkan peraturan/qanun tentang pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat adat.
  5. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh harus merestorasi semua habitat mangrove yang sudah terdegradasi untuk kehidupan manusia dan kesehatan planet kita. [Ril]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU