Wednesday, April 24, 2024
spot_img

30 Menit Bersama Hasan Tiro

LELAKI itu terlihat rapi dengan jas hitam, dasi marun dan kemeja putih. Kumis baru dibabat. Rambut yang putih dilahap usia, disisir ke samping. Kaca mata putihnya, jelas memperlihatkan kerut di kelopak mata.

Diusianya yang renta, ia masih gesit. Siang itu, ia terlihat sibuk dengan beberapa surat digenggamnya erat. Namun, langkahnya terhenti tepat di pintu bertuliskan namanya sendiri, ‘Tengku Hasan M. Ditiro’.

Di balik pintu, Presiden Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) ini menarik lengan jasnya, menoleh ke jam warna keemasan yang melilit tangan kanannya. Bandul menunjuk angka 14.00 waktu Swedia. Ia bersedia meluangkan waktu. “Please coming,” pintanya pada ACEHKINI yang mendatanginya, Selasa, 9 September silam.

Sebulan sebelumnya, pintu rumah itu tertutup rapat. Padahal, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), ingin berjumpa dengannya. Anggota Pansus XI itu, ingin meminta pendapatnya ihwal qanun wali nanggroe yang menyeret-nyeret namanya. Sebab, ia sudah dikultuskan sebagai pemangku pertama jabatan itu.

Walau berbagai cara ditempuh legislator, dari merayu ‘tangan kanan’ Hasan Tiro sampai membujuk Dubes Indonesia untuk Swedia mengurus pertemuan, namun hasilnya hanya foto apartemen kediamannya yang diambil dari jalan raya.

Perjalanan wakil rakyat yang meraup Rp 1,4 milyar uang negara itu, sampai kini masih dikecam banyak pihak. Tak sukses mempertemukan tim Pansus dengan ‘wali nanggroe’, Dubes Linggawati Hakim bahkan menyebarkan kabar Hasan Tiro, sakit-sakitan.

Saat menuntun ACEHKINI ke ruang tamu, sama sekali ia tak bertongkat apalagi menggunakan kursi roda. Yang jelas terlihat dari ruang itu, sepeda statis untuk berolah raga.

Di meja kerjanya, tegak vandel kecil bendera GAM. Di kanan, terpajang foto Tengku Chik Di Tiro serta Cut Nyak Dhien. Di meja itu pula ia menaruh kertas, map, dan dokumen di samping miniatur bola bumi.

Apartemennya tak luas, sekitar 100 meter persegi. Lantainya bersih, walau dia tinggal sendiri. Tak ada meja tanpa bunga. Tak ada bagian dinding tanpa foto. Dari jendela, biru laut M_laren menarik mata.

“Kamu tinggal di Swedia?,” deklarator Aceh merdeka itu memulai perkenalan, setelah mempersilakan duduk di sofa kuning nan empuk. Pertanyaan diajukan dalam bahasa Inggris. Dari bahasa tubuh, tampaknya dia lebih memilih memakai dalam bahasa Inggris dalam pertemuan ini.

“Benar, tapi saya tidak tinggal di Stochkolm. Saya tinggal sekitar 250 kilometer arah barat kota Stockholm,” jawab ACEHKINI.

“Lihat itu,” Hasan Tiro mengacungkan jari, menunjukkan foto kegiatannya di Amerika Serikat. Tak jauh dari meja kerjanya, ada meja kecil sesak kliping media. Di atas meja itu, terpampang pose puluhan tentara berbaris tiga dengan senjata menunjuk langit. Di depannya, duduk Hasan Tiro di sebuah kursi. ”Itu foto saat kami di Libya,” katanya. Samar terlihat badge bertuliskan, ‘Tentara Negara Aceh Wilayah Pasee.’

Foto Dora, perempuan asal Amerika mantan istrinya juga di sana. Tak jauh dari situ, terlihat seorang anak kecil memegang mainan. ”Ini Karim, saat kecil,” jelas Hasan Tiro dengan tatapan penuh kerinduan. Karim Tiro, sekarang menetap di Cincinnati, negara bagaian Ohio, Amerika, dan bekerja sebagai dosen sejarah di Universitas Xavier.

ACEHKINI yang coba melacak keberadaan Karim, berhasil mengontak melalui telepon dan e-mail. Dalam pembicaraan telepon, Karim menjawab, ”Saya harus menghubungi bapak saya dulu sebelum memberikan komentar menyangkut dia.”

Sedangkan dalam balasan e-mail, ia menghargai ketertarikan ACEHKINI untuk menulis kehidupannya. “Tapi, saya tak bisa merespon permintaan media untuk saat ini,” tulisnya. Tak dijelaskan alasan ia tidak mau berbicara detil. Seandainya dia bersedia menjawab, tentu publik Aceh tahu kehidupan satu-satunya putra Hasan Tiro dari hasil perkawinannya dengan Dora.

***

“SAYA akan pulang ke Aceh.” Entah apa yang menggelayut dalam benak Hasan Tiro. Kalimat itu sering dilontarkan spontan. Dari ruangan ini, dia memang terus mengikuti perkembangan Aceh. Sejumlah media cetak terbitan Aceh, ada dalam ruang ini. Bila bersangkut perjuangannya, cover dibingkai. Koleksi terbarunya, cover sebuah tabloid berjudul, “Siapa Wali Nanggroe?”

Hasan Tiro suka mengangkat jarinya sebagai pertanda ‘jangan bahas’, apabila ditanya pendapatnya soal perkembangan Aceh. Bila tak memberi ‘kode jari’, dia langsung mengalihkan pembicaraan. Bila berkenan, ia hanya menjawab singkat.

“Bagaimana Anda melihat politik Aceh ke depan,” kata ACEHKINI.
“Kita akan lihat,” jawabnya sambil tersenyum.
“Apa pendapat Anda tentang MoU Helsinki. Anda cinta damai?”
“Ya, tentu saja,” jawabnya singkat. Setelah mengucapkan itu, dia menundukkan wajahnya sambil mengumam, ”Saya akan segera pulang ke Aceh.”

Seolah tak ingin pembahasan larut, ia justru memilih menjadi guide berkeliling melihat foto seisi rumahnya. Dia menunjuk foto sedang berbicang dengan Kurt Waldheim, diplomat asal Australia yang jadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1972.

Di sampingnya, ada foto kegiatannya di Denhaag yang dimuat media. Koran berbahasa Belanda menulis profil Hasan Tiro. Kliping media juga masuk ruang makan. Di dinding dekat meja, koran terbitan tahun 1990 hingga 2000 dipajang. Itu wilayah yang didominasi koran Swedia yang sudah terlihat lecek dan mulai meluntur.

”Kamu harus lihat itu!” ketusnya.

Lalu, ia menuntun ke sisi kanan ruang tamu. Ruang ini tempatnya menyimpan dokumen-dokumen. Persis perpustakaan. Di tempat ini, dia ‘pamer’ foto pawai referendum di sebuah desa. Dalam foto itu, bendera GAM berkibar. Dalam keramaian sejumlah pemuda mengangkat spanduk free Aceh.

Raut panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie, sedang memimpin milad GAM ada di sini. Walau sudah diketahui umum petinggi angkatan perang ini telah meninggal dunia, Hasan Tiro mengulang kisah dengan hikmat.

Foto artis seksi asal Aceh, Cut Keke sambil memegang senjata AK-47 bersama Abdullah Syafi’ie juga ada. Ruangan ini lebih dikhususkan untuk foto-foto asal Aceh. Saat asyik melihat foto, tiba-tiba Hasan Tiro menghilang.

Dia masuk kamar tidur. Kembali dengan tas jinjing menyerupai tas laptop. Isi tasnya dua buku berbahasa Belanda dan Inggris. Dalam buku berbahasa Belanda itu, terselip selembar fotonya saat muda dan Teungku Chik di Tiro. “Itu kakek saya,” jelasnya tersenyum.

Ia juga memperlihatkan buletin berbahasa Inggris. Di kulit berwarna hijau yang bertuliskan Mathabah Alamiyah itu, terlihat Hasan Tiro duduk di depan khalayak menyerupai konferensi pers. ”Itu ketika saya di Libya,” katanya.

Hasan Tiro memang pernah diangkat sebagai ketua bagian politik Mathabah Alamiyah, organisasi revolusioner pemerintah Libya untuk mendukung berbagai perjuangan kemerdekaan dan anti-imperialis di seluruh dunia. Kala menjabat posisi itu, Hasan Tiro sempat dikirim pemerintah Libya ke Chad, Portugal, Ethiopia untuk menyelesaikan konflik.

Sebelum menutup kembali tasnya, ia memberi tiga lembar kertas. Isinya, dua lembar salinan pidatonya tertanggal Stockholm, 27 Agustus 2001. Selembar lagi, fotokopi peta ”The Funeral of Sultan Iskandar Thani in Aceh, 1641.”

Seperti tersadar ada yang luput dikerjakannya, ia melirik kembali jam di lengan kanannya. Bandulnya, telah menunjukkan pukul 2.30 waktu Swedia. ACEHKINI tahu diri. Dari dia melihat jam berarti waktu telah habis. Waktunya pamit.

Hasan Tiro mengantar sampai ke depan lift. Berbeda dengan saat membuka pintu rumah, kali ini pria yang sudah berusia 83 tahun itu, tidak lagi meregam surat. Dari dalam lift, terlihat dia tersenyum sambil melambai tangan. Dengan suara parau terselip keramahan, ia berujar, “You may come again next time.” [a/Ditulis oleh: Maimun Saleh/Telah dipublikasikan di Majalah ACEHKINI]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU